Selasa, 28 Februari 2012

PENTINGNYA MERAYAKAN MAULID NABI MUHAMMAD SAW

Oleh : Dafid Fuadi, S.Ag-Guru MAN Krecek Kediri

A. Sejarah Munculnya Perayaan Maulid Nabi.
Peringatan Maulid Nabi secara seremonial pertama kali dilakukan oleh raja Irbil (wilayah Iraq sekarang), bernama Muzhaffaruddin al-Kaukabri, pada awal abad ke 7 hijriyah. Ibn Katsir dalam kitab Tarikh berkata:
“Sultan Muzhaffar mengadakan peringatan maulid Nabi pada bulan Rabi’ul Awwal. Beliau merayakannya secara besar-besaran. Beliau adalah seorang yang berani, pahlawan,` alim dan seorang yang adil -semoga Allah merahmatinya-”.
            Dijelaskan oleh Sibth (cucu) Ibn al-Jauzi bahwa dalam peringatan tersebut Sultan al-Muzhaffar mengundang seluruh rakyatnya dan seluruh para ulama’ dari berbagai disiplin ilmu, baik ulama’ dalam bidang ilmu fiqh, ulama’ hadits, ulama’ dalam bidang ilmu kalam, ulama’ usul, para ahli tasawwuf dan lainnya. Sejak tiga hari, sebelum hari pelaksanaan mawlid Nabi beliau telah melakukan berbagai persiapan. Ribuan kambing dan unta disembelih untuk hidangan para hadirin yang akan hadir dalam perayaan Maulid Nabi tersebut. Segenap para ulama’ saat itu membenarkan dan menyetujui apa yang dilakukan oleh Sultan al-Muzhaffar tersebut. Mereka semua berpandangan dan menganggap baik perayaan maulid Nabi yang laksanakan untuk pertama kalinya itu.
            Ibn Khallikan dalam kitab Wafayat al-A`yan menceritakan bahwa al-Imam al-Hafizh Ibn Dihyah datang dari Maroko menuju Syam dan seterusnya ke menuju Iraq, ketika melintasi daerah Irbil pada tahun 604 Hijrah, beliau mendapati Sultan al-Muzhaffar, raja Irbil tersebut sangat besar perhatiannya terhadap perayaan Maulid Nabi. Oleh kerana itu, al-Hafzih Ibn Dihyah kemudian menulis sebuah buku tentang Maulid Nabi yang diberi judul “al-Tanwir Fi Maulid al-Basyir an-Nadzir”. Karya ini kemudian beliau hadiahkan kepada Sultan al-Muzhaffar.
            Para ulama’, semenjak zaman Sultan al-Muzhaffar dan zaman setelahnya hingga sampai sekarang ini menganggap bahwa perayaan maulid Nabi adalah sesuatu yang baik. Para ulama terkemuka dan huffazh al-hadits (pakar Hadits) telah menyatakan demikian. Di antara mereka seperti al-Hafizh Ibn Dihyah (abad 7 H), al-Hafizh al-'Iraqi (W. 806 H), Al-Hafizh Ibn Hajar al-`Asqalani (W. 852 H), al-Hafizh as-Suyuthi (W. 911 H), al-Hafizh aL-Sakhawi (W. 902 H), Syaikh Ibn Hajar al-Haitami (W. 974 H), al-Imam al-Nawawi (W. 676 H), al-Imam al-`Izz ibn `Abd al-Salam (W. 660 H), mantan mufti Mesir iaitu Syaikh Muhammad Bakhit al-Muthi'i (W. 1354 H), Mantan Mufti Beirut Lubnan iaitu Syaikh Mushthafa Naja (W. 1351 H) dan terdapat banyak lagi para ulama’ besar yang lainnya. Bahkan al-Imam al-Suyuthi menulis karya khusus tentang maulid yang berjudul “Husn al-Maqsid Fi ‘Amal al-Maulid”. Karena itu perayaan maulid Nabi, yang biasa dirayakan di bulan Rabi’ul Awwal menjadi tradisi ummat Islam di seluruh dunia, dari masa ke masa dan dalam setiap generasi ke generasi.

B. Dasar-Dasar Diselenggarakan Maulid Nabi.
Dalam risalah khusus tentang Maulid Nabi SAW. Prof. Dr. As-Sayyid Muhammad bin ‘Alwi Al-Malikiy (pakar hadits dari Makkah al-Mukarramah Arab Saudi, wafat tahun 2005), menjelaskan dasar-dasar diselenggarakannya Maulid Nabi :
1. Rasulullah SAW. memperingati hari maulidnya (kelahirannya) dengan puasa setiap hari Senin sebagai tanda syukur kepada Allah SWT. Dalam Shahih Muslim, diriwayatkan hadits Abi Qutadah RA. :
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ اْلاِثْنَيْنِ ؟ فَقَالَ : (( فِيْهِ وُلِدْتُ ، وَفِيْهِ أُنْزِلَ عَلَيَّ )) . رواه مسلم
Bahwasanya Rasulullah SAW. pernah ditanya tentang puasa hari senin, beliau SAW. menjawab : “Pada hari senin itu aku dilahirkan dan pada hari senin itu pula aku diberi wahyu.”   (HR. Muslim)
2. Perayaan Maulid Nabi SAW. adalah ungkapan kegembiraan dankebahagiaan dengan keberadaan Rasulullah SAW.   Dalam Surah Yunus : 58, Allah SWT. memerintahkan kita untuk senang dan gembira dengan rahmatNya SWT. :
قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ
Katakanlah: "Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan".
Sedangkan karunia dan rahmat terbesar dari Allah SWT. untuk kita bahkan untuk semesta alam adalah Rasulullah SAW. firmanNya dalam Surah Al Anbiya’ : 107 :
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.
3. Kegembiraan dengan kelahiran Rasulullah SAW. memiliki manfaat khusus bagi setiap muslim. Dalam Shahih Buhkari diceritakan sebuah kisah mimpi ‘Abbas ra, paman Rasulullah SAW., tentang peringanan azab atas Abu Lahab setiap hari Senin, karena dia di masa hidupnya pernah gembira menyambut kelahiran keponakannya, Muhammad bin Abdillah, dengan memerdekakan budaknya bernama Tsuwaibah.  Karenanya Al Hafidz Syamsuddin Muhammad bin Nashiruddin Ad Dimasyqi membuat sya’ir :

إِذَا كَانَ هَذَا كَافِـراً جَاءَ ذَمُّـهُ       بِتَبَّتْ يَدَاهُ فِي الْجَحِيْمِ مُخَلَّدَا
أَتَى أَنَّهُ فِي يَوْمِ اْلاِثْنَيْنِ دَائِـمًـا       يُخَفَّفُ عَنْهُ لِلسُّرُورِ بِأَحْمَدَا
فَمَا الظَّنُّ بِالْعَبْدِ الَّذِي كَانَ عُمْرُهُ       بِأَحْمَدَ مَسْرُورًا وَمَاتَ مُوَحِّدَا

Jika orang kafir (Abu Lahab) yang jelas telah dicaci dalam al Qur’an dengan surat Tabbat Yadahu (Al Lahab) dan yang dikekalkan di dalam neraka, diberi keringanan siksa setiap hari Senin karena gembira dengan kelahiran Nabi Muhammad.
Maka bagaimana dengan seorang hamba yang seumur hidupnya selalu gembira dengan kelahiran Nabi Muhammad dan mati dalam keadaan bertauhid (mukmin) ?
Kisah peringanan siksa Abu Lahab ini di samping diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab Shahihnya, juga dikutip oleh Al Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani dalam kitab Fathul Bari, dan diriwayatkan juga oleh Al Imam Abdur Razzaq Ash Shan’ani dalam kitab Al Mushannaf, Al Hafizh Al Baihaqi dalam Dala’ilun Nubuwwah, Ibn Katsir dalam Al Bidayah, Muhammad ibn ‘Umar Bahraq dalam kitab Hada’iqul Anwar, Al Hafizh Al Baghawi dalam kitab Syarhus Sunnah, Ibn Hisyam dalam kitab Sirahnya, As Suhaili dalam Ar Raudhul ‘Unufi dan Al ‘Amiri dalam kitab Bahjatul Wasa’il.
4. Perayaan Maulid Nabi SAW. adalah media da’wah untuk memaparkan kembali sejarah kehidupan dan perjuangan Rasulullah SAW., mendorong umat Islam agar cinta Rasulullah SAW. dan mau meneladaninya, sekaligus membiasakan umat bershalawat untuk Rasulullah SAW., sehingga menjadi peneguh hati kaum muslimin.   Dalam surat Huud : 120, Allah SWT memberitakan dan menjelaskan bahwasanya kisah para Rasul dalam Al Qur’an untuk meneguhkan hati Rasulullah SAW. sebagaimana dalam firmanNya :
وَكُلًّا نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنْبَاءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ
Dan semua kisah dari Rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu.
Firman Allah SWT. dalam surat Al Ahzab 56 :
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.
5. Perayaan Maulid Nabi SAW. adalah upaya menghidupkan dan napak tilas pejuangan Rasulullah SAW. Menghidupkan kenangan perjuangan orang-orang shaleh terdahulu adalah sesuatu yang disyariatkan dalam Islam, sebagaimana serangkaian proses manasik (ibadah) Haji adalah dalam rangka napak tilas perjuangan Nabi Ibrahim AS. dan Sayyidati Hajar beserta putranya, Isma’il AS.
6. Perayaan Maulid Nabi SAW. adalah ungkapan pujian dan cinta kepada Rasulullah SAW. Rasulullah SAW. telah memuji dan membalas dengan berbagai kebaikan kepada  para penyair di zamannya yang telah membuat sya’ir-sya’ir yang memuji kehidupan dan perjuangan beliau, seperti Hisan bin Tsabit ra.
7. Rasulullah SAW. memiliki perhatian dan kepedulian terhadap keterkaitan antara tempat dengan peristiwa religius bersejarah, bahkan beliau ikut mengagungkannya sebagaimana perintah Malaikat Jibril kepada beliau.  Dalam hadits Syaddaad bin ‘Aus ra yang diriwayatkan oleh Al Bazzaar, Abu Ya’laa, dan Ath Thabrani, bahwasanya tatkala Rasulullah SAW. Isra’ dan Mi’raj, beliau diajak mampir oleh Jibril AS. ke Baitu Lahm (Betlehem) dan shalat dua raka’at di sana, lalu Jibril AS. bertanya apakah Rasulullah SAW. tahu tempat apa itu, beliaupun menjawab tidak tahu, maka Jibril AS. memberitahukannya :
صَلَّيْتَ بِبَيْتِ لَحْمٍ حَيْثُ وُلِدَ عِيْسَى
“Engkau telah shalat di Baitu Lahm (Betlehem) tempat Nabi ‘Isa As. dilahirkan”.  
8. Rasulullah SAW. juga memiliki perhatian dan kepedulian terhadap hubungan antara zaman dengan peristiwa religius bersejarah, bahkan beliau ikut merayakannya. Dalam Shahih Bukhari dan Muslim diceritakan bahwa tatkala Rasulullah SAW. mendapatkan kaum Yahudi berpuasa dan bergembira pada Hari ‘Asyura (10 Muharram) untuk merayakan kemenangan Nabi Musa as atas Fir’aun, maka beliau bersabda : “
نَحْنُ أَوْلَى بِمُوسَى مِنْكُمْ
“Kami (orang Islam) lebih berhak memperingatinya dari kalian (orang Yahudi)”. Beliau pun berpuasa di hari itu dan menganjurkan umatnya untuk berpuasa ‘Asyura.
Selain itu, masih ada hadits lain bahwasanya Rasullullah SAW. menyebutkan keistimewaan Hari Jum’at sebagai hari penciptaan Nabi Adam AS. dan juga hari kelahiran para Nabi dan Rasul selain beliau SAW.
وَفِيْهِ خُلِقَ آدَمُ
“Pada hari Jum’at itu Nabi Adam diciptakan.” (HR. Muslim)
Semua itu sesuai dengan tuntunan Al Qur’an yang mengkhabarkan tentang ucapan selamat (limpahan kesejahteraan) bagi hari kelahiran para Nabi. Dalam surat Maryam : 15 tentang Nabi Yahya AS. :
وَسَلامٌ عَلَيْهِ يَوْمَ وُلِدَ وَيَوْمَ يَمُوتُ وَيَوْمَ يُبْعَثُ حَيًّا
Kesejahteraan atas dirinya pada hari ia dilahirkan dan pada hari ia meninggal dan pada hari ia dibangkitkan hidup kembali.
Dan surat Maryam : 33 tentang Nabi ‘Isa AS. :
وَالسَّلامُ عَلَيَّ يَوْمَ وُلِدْتُ وَيَوْمَ أَمُوتُ وَيَوْمَ أُبْعَثُ حَيًّا
Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali.
9. Para ‘Ulama terkemuka dan umat Islam dari berbagai negeri telah menjadikan Peringatan Maulid Nabi SAW. sebagai sesuatu yang mustahsan yaitu suatu perbuatan yang dipandang baik. Karena biasanya rangkaian acara Peringatan Maulid Nabi terdiri dari : pembacaan ayat suci Al Qur’an, dzikir, shalawat dan pujian Nabi, mau’izhah hasanah, shadaqah dan perbuatan-perbuatan positif lainnya, yang semuanya tidak keluar dari koridar syar’i, bahkan sangat dianjurkan oleh syara’. Dalam Musnad Ahmad sebuah hadits mauquf dari Abdullah bin Mas’ud ra berbunyi :
مَا رَآهُ الْمُسْلِمُونَ حَسَناً فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ، وَمَا رَآهُ الْمُسْلِمُونَ قَبِيْحاً فَهُوَ عِنْدَ اللهِ قَبِيْحٌ
“Apa yang dipandang baik oleh umat Islam (para Ulama dan mayoritas umat Islam) maka hal itu baik menurut Allah dan apa yang dipandang jelek oleh umat Islam maka hal itu jelek menurut Allah.
10. Peringatan Maulid Nabi SAW. secara eksplisit dalam bentuk perayaan besar-besaran, memang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW, tapi bukan berarti sebagai bid’ah dhalalah (bid’ah sesat) melainkan sebagai bid’ah hasanah (bid’ah baik).   Para Sahabat banyak melakukan apa yang tidak pernah dilakukan Rasulullah SAW. seperti : 1) Abu Bakar RA. dan ‘Umar RA. menghimpun Al Qur’an dalam satu mushaf. 2). ‘Utsman RA. memperbanyak mushaf Al Qur’an dan mengirimnya ke berbagai wilayah. 3). ‘Umar RA. menghimpun kaum muslimin di bawah satu Imam dalam Shalat Tarawih, dan beliau berkata :
 نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ
 (Ini adalah sebaik-baiknya bid’ah). 4) Dan lain-lain. Bahkan Al Imam asy Syafi’i RA. salah seorang ‘Ulama Salaf terkemuka menyatakan : 
مَا أُحْدِثَ وَخَالَفَ كِتَاباً أَوْ سُنَّةً أَوْ إِجْمَاعاً أَوْ أَثَراً فَهُوَ الْبِدْعَةُ الضَّالَّةُ، وَمَا أُحْدِثَ مِنَ الْخَيْرِ وَلَمْ يُخَالِفْ شَيْئاً مِنْ ذَلِكَ فَهُوَ الْمَحْمُودُ
“Sesuatu yang diadakan dan bertentangan dengan Al Qur’an, Sunnah, Ijma’ atau Atsar maka hal itu adalah bid’ah dhalalah, dan sesuatu yang diadakan tapi tidak bertentangan dengan semua itu maka hal itu adalah sesuatu yang terpuji.”
Sehingga para ‘ulama sepakat mengikat kata bid’ah dalam hadits : “Kullu bid’atin dhalalatun” dengan ikatan taqdiirul kalam “bid’atun sayyi’atun,” berdasarkan hadits Rasulullah SAW. berikut ini :
مَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَىْءٌ
“Barangsiapa yang merintis sebuah rintisan kebaikan dalam Islam maka ia mendapat pahala dan pahala orang yang mengamalkannya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun”. (HR. Muslim)

C. Meluruskan pamahaman yang keliru
Sebagian kalangan mengatakan bahwa Rasulullah SAW. tidak suka dipuji dan pernah melarang ummatnya menyanjungnya, sebagaimana dalam sebuah hadits :
لاَ تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُولُوا عَبْدُ اللهِ وَرَسُولُهُ
“Janganlah kalian memujiku seperti kaum Nasrani memuji Isa bin Maryam. Sesungguhnya aku adalah hambaNya, maka ucapkanlah, ‘Hamba Allah dan RasulNya’.” (HR Bukhari dan Ahmad)    
Mengenai hadits tersebut, yang jelas dalam konteks yang berbeda dengan Perayaan Maulid Nabi. Dalam berbagai syarah (penjelasan) atas kitab-kitab hadits, para ulama hadits menegaskan bahwa sesungguhnya Rasuluullah SAW. tidak pernah melarang ummatnya memuji beliau. Yang beliau larang adalah pujian yang berlebihan seperti yang dilakukan oleh ummat Nasrani kepada Nabi Isa as sehingga berpindah konteks menjadi penyembahan sebagai anak Tuhan. Inilah jenis pujian yang amat dilarang oleh Rasulullah SAW., dan inilah yang disebut pujian berlebih-lebihan.
Kalau memang pujian yang dilakukan umat Islam merupakan terlarang, tentunya Rasulullah SAW. tidak akan mendiamkan saat penduduk kota Madinah Al Munawwarah bergembira menyambut kedatangan hijrah beliau  SAW. dengan dendang syair-syair pujian diiringi oleh rebana para wanita dan anak-anak yang diperuntukkan menymbut kedatangan beliau. Dan masih banyak lagi pujian-pujian dari para sahabat untuk beliau SAW. sebagaimana tertulis dalam kitab-kitab Sirah Nabawiyah.  
Yang jelas tidak ada seorang pun dari umat Islam yang memuji Rasulullah SAW. melebihi batasannya sebagai manusia. Tak seorangpun yang menuhankan beliau SAW., bahkan lukisan atau patung yang menggambarkan sosok Rasulullah SAW. pun sangat terlarang untuk menghindari penyembahan. Hingga saat ini banyak pujian indah dalam berbagai bahasa yang ditujukan untuk beliau SAW. tetapi masih belum seberapa dibandingkan dengan pujian-pujian indah yang disampaikan Allah Ta’ala dalam Al Qur’an untuk beliau SAW.  WalLahu a’lam bish shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar