Selasa, 28 Februari 2012

MONOGAMI, POLIGAMI DAN PERCERAIAN MENURUT HUKUM ISLAM

OLEH : LAILATUL BADRIYAH


Asas Monogami telah diletakkan oleh Islam sejak 15  abad yang lalu sebagai salah satu asas dalam Islam yang bertujuan untuk landasan dan modal utama guna membina kehidupan rumah tangga yang harmonis, sejahtera dan bahagia.

Islam memandang poligami lebih banyak membawa risiko dan madarat daripada manfaatnva. Karena manusia itu menurut fitrahnya (human nature) mempunyai watak cemburu, iri hati, dan suka mengeluh. Watak-watak tersebut, akan mudah timbul dengan kadar tinggi, jika hidup dalam kehidupan keluarga yang poligamis. Dengan demikian, poligami itu bisa menjadi sumber konflik dalam kehidupan keluarga, balk konflik antara suami dengan istri-istri dan anak-anak dari istri-istrinya, maupun konflik antara istri beserta anak anaknya masing masing.

Karena itu, hukum asal dalam perkawinan menurut Islam adalab monogami, sebab dengan monogami akan mudah menetrahsasi sifat/watak cemburu, iri hati, dan suka mengeluh dalam kehidupan keluarga yang monogamic. Berbeda dengan kehidupan keluarga yang poligamis, orang akan mudah peka dan terangsang timbulnya perasaan cemburu, iri hati/dengki, dan suka mengeluh dalam kadar tinggi, sehingga bisa mengganggu ketenangan keluarga dan dapat pula membahayakan keutuhan keluarga.

Karena itu, poligami hanya diperbolehkan, bila dalam keadaan darurat,       misalnya istri ternyata mandul, sebab menurut Islam, anak itu merupakan salah satu dari tiga human investment yang sangat berguna bagi manusia setelah ia meninggal dunia, yakni bahwa amalnya tidak ak tertutup berkah dengan adanya keturunan yang saleh yang selalu berdoa untuknya. Maka dalam keadaannya yang istri mandul dan suami bukan mandul berdasarkan keterangan medic basil laboratoris suami diizinkan berpoligami dengan syarat ia benar-benar mampu mencukupi nafkah untuk semua keluarga dan harus bersikap adil dalam pemberian nafkah lahir dan giliran waktu tinggalnya.

Marilah kita perhatikan ayat-ayat Al-Qur’an yang berkenaan dengan masalah monogami dan poligami dalam Surat An-Nisa ayat 2-3:

Dan berikanlah kepada anak anak yatim (yang sudah balig) harta-harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka (dengan jalan mencampur adukkannya) kepada hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu adalah dosa yang besar. Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak wanita yatim yang kamu mengawininya.). maka kawinilah wanita-wanita lain yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kernudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka kawinlah seorang saja, atau budak budak yang kamu miliki. Yang demikian itulah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.

Avat 2 dan 3 Surat An-Nisa di atas berkaitan (ada relevansinya), sebab ayat 2 mengingatkan kepada para wali yang mengelola harta anak yatim, bahwa mereka berdosa besar jika sampai memakan atau menukar harta anak yatim yang baik dengan yang jelek dengan jalan yang tidak sah, sedangkan ayat 2 mengingatkan kepada para wali anak wanita yatim yang mau mengawini anak yatim tersebut agar si wali itu beritikad baik dan adil serta si wali wajib memberikan mahar dan hak-hak lainnya kepada anak yatim wanita yang dikawininva, la tidak boleh mengawininya dengan maksud untuk memeras dan menguras harta anak yatim atau menghalang-halangi anak wanita yatim kawin dengan orang lain. Hal ini berdasarkan keterangan Aisyah r.a waktu ditanya oleh Urwah bin Az-Zubair r.a mengenai maksud ayat 3 Surat An-Nisa tersebut.

Jika wali anak wanita yatim tersebut khawatir atau takut tidak bisa herbuat adil terhadap anak yatim, maka  wali tidak boleh mengawini anak wanita yatim yang berada di bawah perwaliannya itu, tapi ia wajib kawin dengan wanita lain yang ia senangi, seorang istri sampai dengan empat. dengan syarat bisa marnpu berbuat adil terhadap istri istrinva. Dan jika ia takut tidak hisa berbuat adil terhadap istri-istrinva, maka ia hanya boleh beristri seorang, dan ini pun ia tidak boleh berbuat zalim terhadap istri yang seorang itu. Apabila ia masih takut pula kalau berbuat zalim terhadap istrinya yang seorang itu, maka tidak boleh ia kawin dengannya, tetapi ia harus mencukupkan dirinya dengan budak wanitanya.

Menurut Ibnu Jarir, bahwa sesuai dengan nama surat ini Surat An-Nisa,      maka masalah pokoknva ialah mengingatkan kepada orang yang berpoligami agar berbuat adil terhadap istri-istrinya dan berusaha memperkecil jumlah istrinya agar ia tidak berbuat zalim terhadap keluarganya. Sedangkan menurut Aisyah r.a yang didukung oleh Muhammad Abduh, bahwa masalah pokoknya ialah masalah poligami, sebab masalah poligami dibicarakan dalam ayat ini adalah dalam kaitannya dengan masalah anak wanita yatim yang mau dikawini oleh walinya sendiri secara tidak adil atau tidak manusiawi.

Mengenai hikmah diizinkan berpoligami dalam keadaan darurat dengan syarat berlaku adil antara lain, ialah sebagai berikut:

  1. untuk mendapatkan keturunan bagi suami yang subur dan istri mandul.
  2. untuk menjaga keutuhan keluarga tanpa menceraikan istri, sekalipun istri tidak dapat menjalankan tugasnya sebagai istri, atau istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan,
  3. untuk menyelamatkan suami yang hypersex dari perbuatan zina dan krisis akhlak lainnya.
  4. untuk menyelamatkan kaum wanita dari krisis akhlak yang tinggal di negara/masyarakat yang jumlah wanitanya jauh lebih banyak dari kaum prianya, misalnya akibat peperangan yang cukup lama

Mengenai hikmah Nabi Muhammad diizinkan beristri lebih dari seorang, bahkan melebihi jumlah maksimal yang diizinkan bagi umatnya ialah sebagai berikut:

  1. untuk kepentingan pendidikan dan pengalaman agama. Istri Nabi sebanyak (sembilan) orang itu bisa menjadi sumber informasi bagi umat Islam yang ingin mengetahui ajaran-ajaran Nabi dan praktek kehidupan Nabi dalam berkeluarga dan bermasyarakat, terutama mengenai masalah-masalah kewanitaan atau kerumahtanggaan;
  2. untuk kepentingan politik mempersatukan suku-suku bangsa Arab dan untuk menarik mereka masuk agama Islam. Misalnya perkawinan Nabi dengan Juwairiyah, putriAl-Harits Kepala suku Banil Musthaliq.
  3. untuk kepentingan sosial dan kemanusiaan. Misalnya perkawinan Nabi dengan beberapa janda pahlawan Islam Yang telah lanjut usianya seperti Saudah binti Zum’ah (swami meninggal setelah kembali dari hijrah Abessinia), Hafshah binti Umar (suami gugur di Badar), Zainab binti Khuzaimah (suami gugur di Uhud), dan Hindun Ummu Salamah (suami gugur di Uhud). Mereka memerlukan pelindung untuk melindungi jiwa dan agamanya.

Jelaslah. bahwa perkawinan Nabi dengan sembilan istrinya itu tidaklah terdorong oleh motif memuaskan nafsu seks dan kenikmatan seks. Sebab kalau motifnya demikian, tentunya Nabi mengawini gadis-gadis dari kalangan bangsawan dan dari berbagai suku pada masa Nabi masih berusia muda.

Mengenai perceraian, Islam memandangnya sebagai Perbuatan halal Yang paling dibenci agama. sebagaimana Hadis Nabi yang di riwayat Abu Daud. Ibnu Majah. dari Al-Hakim dari Ibnu Umar:

Perbuatan halal yang paling dibenci oteh Allah, adalah perceraian.

Hal ini disebabkan karena perceraian itu bertentangan dengan tujuan perkawinan, ialah untuk membentuk rumah tangga yang bahagia untuk selamanva. Dan lagi perceraian itu mempunyai dampak yang negatif terhadap bekas suami-istri dan anak-anak. Karena itu, perceraian seperti halnya poligarni hanya diizinkan kalau dalam keadaan terpaksa (darurat). yakni sudah terjadi syi­qaq atau kemelut rumah tangga yang sudah sangat gawat keadaan­nya dan sudah diusahakan dengan itikad baik dan serius untuk adanya islah atau rekonsiliasi antara suami istri, namun tidak berhasil. termasuk pula usaha dua hakam dan pengadilan, tetapi tetap tidak berhasil. Maka dalam keadaan rumah tangga seperti itu, Islam memberi jalan keluar, yakni “perceraian” yang masih bersifat talaq raj’i. artinya masih memungkinkan suami merujuk istri dalam masa idah. Karena itu, masa idah  istri itu dimaksudkan sebagai cooling period atau masa pengendapan untuk merenungkan dengan tenang tentang baik buruknya perceraian bagi keluarga, dan menelusuri apakah penyebab yang sebenarnya sampai terjadi syiqaq itu dari suami atau dari istri atau dari pihak ketiga? Dengan introspeksi dan retrospeksi, mungkin timbul penyesalan pada suami istri, kemudian berhasrat islah dan niat masing-masing suami istri untuk membina rumah tangga kembali lagi. (Perhatikan Al‑Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 228 dan An-Nisa ayat 34).

Dan Mengingat madharat yang timbul akibat dari perceraian poligarni itu sangat besar sekali pengaruhnya terhadap kehidupan berkeluarga dan kehidupan bermasyarakat di Indonesia, maka Pernerintah RI berhak dan bahkan berkewajiban untuk memperketat dan mempersulit  izin perceraian dan poligarni, sebagaimana tersebut dalam UU No. 1/1974, PP No. 9 tahun 1975, dan PP No.10 tahun1983, demi menjaga kemaslahatan keluarga dan masyarakat. Dan bagi umat Islam Indonesia wajib mentaati peraturan perundang-undangan tersebut, karena tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip di dalamAl -Qur’an dan Sunnah. dan juga mengingat Al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 59:

Hai sekalian orang yang beriman, taatlah kepada Allah, taatlah kepada rasul dan mereka yang mengatur urusan dari kamu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar