Selasa, 28 Februari 2012

Cukup Dua Periode


Oleh: Suismoyo (Guru MTs Alam 1 Pare)



Kebijakan Menteri Pendidikan Nasional (Mendknas) yang menerbitkan Peraturan Mendiknas (Permendiknas)  Nomor 28 Tahun 2010 tentang Penugasan Guru Menjadi Kepala Sekolah/Madrasah merupakan langkah terobosan yang pantas diapresiasi. Paling tidak, ini mencerminkan semangat reformasi  untuk menciptakan iklim kepemimpinan di sekolah/madrasah yang lebih kompetetif, kreatif dan memberikan peluang yang besar kepada semua guru untuk menduduki jabatan kepala itu. Serta dapat mengeliminir aroma KKN pengangkatan jabatan kepala sekolah/madrasah.

Sebelumnya Mendiknas juga telah meluncurkan Permendiknas No. 13 Tahun 2007 tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah, yang di dalamnya mengatur tentang persyaratan kualifikasi dan kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang kepala sekolah. Kehadiran peraturan ini tampaknya bisa dipandang sebagai momen yang memuat pesan dan amanat penting, bahwa sekolah harus dipimpin oleh  orang yang benar-benar kompeten. Baik dalam aspek kepribadian,  sosial, manajerial, kewirausahaan, maupun supervisi

Dalam Permendiknas nomor 28/2010 antara lain menyebut bahwa orang yang memimpin sebuah sekolah harus memiliki kompetensi dan profesional memadai. Ada syarat khusus yang harus dipenuhi untuk bisa menjadi kepala sekolah/madrasah. Kepala daerah atau kepala satker lain juga tidak bisa lagi seenaknya mengangkat kepala sekolah/madrasah baru sesuai keinginannya.

Apakah ini mengisyaratkan untuk menjadi kepala sekolah, kini tidak mudah lagi? Bisa ya, bisa tidak, may be not, may be yes. Kalau melihat praktek yang terjadi selama ini, maka jawabannya ya. Pasalnya, sudah bukan menjadi rahasia lagi bila ada seorang kepala sekolah/madrasah yang bertahun-tahun menduduki jabatan tersebut dan tidak pernah diganti.

Dengan aturan ini setidaknya  kedepan proses pengangkatan calon kepala sekolah baik tingkat SD/MI, SMP/MTs maupun SMA/MA sederajat sudah mempunyai acuan yang jelas. Semuanya bertujuan agar didapatkan kepala sekolah dengan kemampuan memimpin dan memajukan sekolah yang mumpuni. Paling tidak untuk bisa menjadi seorang kepala sekolah, perlu ada persiapan-persiapan khusus. Mulai proses administrasi hingga akademik yang harus terpenuhi.

Bagi calon kepala sekolah/madrasah wajib mengikuti proses pendidikan dan pelatihan (diklat) minimal 100 jam serta praktik lapangan minimal 3 (tiga) bulan. Selain itu, harus ada suatu bukti bahwa calon kepala sekolah/madrasah tersebut berkompeten dan punya keterampilan manajerial di dalam mengelola sekolah. Dengan kata lain mereka harus punya standar kompetensi calon kepala sekolah.

Kehadiran Permendiknas ini secara tidak langsung juga memangkas pengangkatan kepala sekolah yang didasarkan pada prinsip like and dislike. Karena dalam proses pengangkatannya, calon kepala sekolah/madrasah harus pula melalui penilaian akseptabilitas oleh tim pertimbangan pengangkatan kepala sekolah/madrasah yang ditetapkan oleh pemerintah. Baik pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota atau penyelenggara sekolah/madrasah.

Yang lebih penting lagi adalah pembatasan masa jabatan kepala sekolah/madrasah. Seorang kepala sekolah/madrasah diperbolehkan menjabat kedua kalinya bila dinilai memiliki prestasi dan kinerja minimal baik. "Kalau sudah dua periode bisa diangkat kembali, tetapi pada sekolah yang lain dengan prestasi amat baik," kata Mendiknas Muhammad Nuh. Sebelum bisa diangkat lagi, tambah dia, kepala sekolah itu harus turun jabatan dulu menjadi guru biasa.

Penerapan ketentuan-ketentuan dalam Permendiknas baru ini sedikit banyak mengalami kendala di daerah. Pasalnya, tidak semua daerah kondisinya sama. Misalnya saja, kualitas sumber daya manusia (SDM) dari jenjang pendidikan calon kepala sekolah tiap daerah berbeda-beda. ”Faktanya, tidak semua siap menerapkan aturan baru ini. Makanya, penerapan Permendiknas itu akan sangat tergantung pada kepala daerah dan kondisi daerah masing-masing,”kata mantan Rektor ITS Surabaya inia. Bukan dalam artian pemerintah daerah ’menipu’ aturan yang berlaku tersebut. Namun, dengan keterbatasan kesiapan daerah tentu saja ketentuan dalam Permendiknas No 28 Tahun 2010 itu tidak akan bisa diterapkan seluruhnya.
Beberapa poin penting dalam Permendiknas yang terdiri dari  10 bab dan 20 pasal ini antara lain:
Persyaratan khusus guru yang diberi tugas tambahan sebagai kepala sekolah/madrasah yaitu memiliki sertifikat kepala sekolah/madrasah pada jenis dan jenjang yang sesuai dengan pengalamannya sebagai pendidik yang diterbitkan oleh lembaga yang ditunjuk dan ditetapkan Direktur Jenderal. (Pasal 2 Ayat 3 point b).
Penyiapan calon kepala sekolah/madrasah meliputi rekrutmen serta  pendidikan dan pelatihan calon kepala sekolah/madrasah. (Pasal 3 Ayat 1)
Pendidikan dan pelatihan calon kepala sekolah/madrasah dilaksanakan dalam kegiatan tatap muka dalam kurun waktu minimal 100 (seratus) jam dan praktik pengalaman lapangan dalam kurun waktu minimal selama 3 (tiga) bulan. (Pasal 7 Ayat 2).
Kepemilikan sertifikat bisa dianggap sebagai bukti formal atas kelayakan dan kewenangan  seseorang untuk memangku jabatan tertentu. Banyak ditemukan di lapangan, kasus rekrutmen kepala sekolah  tanpa disertai Sertifikat Kepala Sekolah, dan kegiatan pendidikan dan pelatihan (diklat) calon kepala sekolah.
Jika seorang guru direkrut tanpa sertifikat dan diklat, maka tidak salah jika ada sebagian orang yang mempertanyakan akan kewenangan dan kelayakan yang bersangkutan. Dengan adanya aturan hukum ini,  maka ke depannya diharapkan sekolah/madrasah benar-benar  dapat dipimpin oleh orang yang layak dan teruji.
Calon kepala sekolah/madrasah direkrut melalui pengusulan oleh kepala sekolah/madrasah dan/atau pengawas yang bersangkutan kepada dinas propinsi/kabupaten/kota dan kantor wilayah kementerian agama/kantor kementerian agama kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya. (Pasal 4 Ayat 2)
Pengangkatan kepala sekolah/madrasah dilakukan melalui penilaian akseptabilitas oleh tim pertimbangan pengangkatan kepala sekolah/madrasah. (Pasal 9 Ayat 1). Tim pertimbangan melibatkan unsur pengawas sekolah/madrasah dan dewan pendidikan. (Pasal 9 Ayat 3)
Penilaian kinerja kepala sekolah/madrasah dilakukan secara berkala setiap tahun dan secara kumulatif setiap 4 (empat) tahun. (Pasal 12 Ayat 1). Penilaian kinerja tahunan dilaksanakan oleh pengawas sekolah/madrasah. (Pasal 12 Ayat 2). Penilaian kinerja 4 (empat) tahunan dilaksanakan oleh atasan langsung dengan mempertimbangkan penilaian kinerja oleh tim penilai yang terdiri dari pengawas sekolah/madrasah, pendidik, tenaga kependidikan, dan komite sekolah dimana yang bersangkutan bertugas. (Pasal 12 Ayat 3)
Pasal-pasal tersebut mengisyaratkan bahwa pengawas sekolah perlu dilibatkan dalam proses rekrutmen dan pengangkatan kepala sekolah.  Ada kasus (mungkin banyak) yang terjadi urusan  rekrutmen dan pengangkatan kepala sekolah, pengawas sekolah kadang “ditilap”. Lebih ironis lagi, kalau yang dilibatkan  justru orang-orang  di luar struktur, yang sebenarnya tidak berkepentingan langsung dengan pendidikan.
Sebagai konsekuensinya penilaian kinerja kepala sekolah/madrasah perlu melibatkan pengawas sekolah/madrasah. Kendati di beberapa daerah kegiatan penilaian kinerja kepala sekolah/madrasah tampaknya belum bisa  dikembangkan menjadi kebijakan resmi satker setempat.
Pemerintah hendaknya melibatkan dan memberdayakan peran pengawas sekolah sebagaimana tercantum dalam pasal-pasal  tesebut dengan kesiapan dari para pengawas sekolah itu sendiri.
Untuk mengimbangi kebijakan baru ini, lebih baik lagi kalau pemerintah juga menerbitkan Peraturan tentang Penugasan Guru sebagai Pengawas  Sekolah,  untuk melengkapi peraturan-peraturan sebelumnya, khususnya yang tertuang dalam Permendiknas No. 12  Tahun 2007 tentang Standar Pengawas Sekolah.(*)
quot;;

Tidak ada komentar:

Posting Komentar