Selasa, 28 Februari 2012

APA MAKNA TAHUN 2012 BARU BAGI KITA...?

Cholis  (Madin Istiqro’ Jerukwangi Kandangan)


Sebutan baik di akhir hayat adalah umur ke dua.   (Syauqi Bek)

Gebyar menanti datangnya tahun baru makin terasa. Sebuah kerinduan tanpa dasar. Barangkali, setelah orang menjalani kehidupan ini, dengan segala suka dan dukanya, kemudian menunggu yang lain, yang segera tiba dengan kecemerlangannya.
Tahun baru, oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan dengan: hari permulaan tahun. Nah, tak ubahnya sebuah rumah atau pakaian baru, ia memiliki daya pandang yang menyilaukan dan serba hebat. Sekaligus, tanpa prasangka tentang penanggulangannya.
Tahun baru,sesuatu yang kurang benar, kemudian terjadi. Tentang iklan dan spanduk yang main hantam saja, mengaitkan dua peristiwa besar itu sama pentingnya, tetapi lain cakupannya. Bunyinya sederhana: Selamat Tahun Baru dan Hari Natal atau kebalikannya. Akankah terjadi pula pengaitan itu seperti itu bila nanti barangkali bersamaan pula antara Hari Proklamasi dan Idul Fitri?
Daya tarik lain pun segera muncul lewat istilah Milenium Tiga. Adakah semua itu karena kelihaian lirikan bisnis yang ikut meramaiakan suasana dengan segala akibatnya? Seperti adanya keinginan hanya untuk melihat terbitnya matahari hari pertama tahun 2012.
Rasa bersyukur, karena masih berkesempatan menyaksikan pergantian tahun, jelas arahnya. Sama halnyadengan munculnya kesadaran bahwa pergantian tahun makin mendekatkan kita pada kematian. Biasanya, ditandai oleh beberapa peristiwa. Kerentanan diri, tumbuhnya uban dan sebagainya. Disamping keharusan untuk makin tegar menghadapi tantangan hidup yang bakal makin kejam. Sebuah catatan harus pula diadakan, banyaknya rambut uban pada mereka yang tergolong usia masih muda belia, tentu saja sebagai suatu pengecualian.
Dari sejarah para Nabi yang mula pertama mengalami peristiwa ubanan adalah Nabi Ibrahim AS, bapak manusia yang kedua, dengan dialog indahnya:
“Apa itu uban, Ya Tuhan,” tanya beliau.
“Uban, sebagai tanda munculnya kewibawaan diri,” jelas Allah.
“Kalau begitu, tambahilah daku,” pinta Nabi Ibrahim AS.
Ada pula sebagai ilustrasi lain tentang uban, bahwa uban pun mampu memberi tanda sebagai kedekatan orang pada ajal dan makin tertutupnya jalan atau pintu kepada cita-cita.
Bagi kita bangsa Indonesia yang telah lama mengenal adanyaTahun Saka, Masehi dan Hijriyah, tentu saja arahan akan adanya kesadaran seperti dialami Nabi Ibrahim AS, telah tertanam. Bahwa per-ulangan tahun mendatangkan kesadaran makin tua dan makin bijaksana, lewat budi dan kemantapan diri.Yang pada gilirannya, tentu saja bakal meningkatkan kualitas bangsa, lebih-lebih setelah didera oleh tantangan yang makin menggunung adanya.
Membicarakan soal uban yang dikaitkan dengan bakal datangnya ajal, seringkali melahirkan tuduhan macam-macam. Bakal terperosoknya kita dalam pusaran kematian, yang pasti melahirkan kemandekan berpikir dan berkreasi. Dan bukan itu maksud dari tulisan ini.

Dalam sebuah puisi saduran, Chairil Anwar prnah meneriakkan:
Kami mati muda
Yang tinggal tulang diliputi debu
Kenang-kenanglah kami
Apakah kematian yang digemborkan oleh sang penyair hanya akan mengundang rasa iba, tangisan saja? Ataukah sebuah ajakan agar muncul generasi pelanjut yang lebih tangguh dalam mempertahankan dan mengisi kemerdekaannya?
Sebuah untaian Bernas masih terngiang, tentang makna dan cakupan “patah tumbuh hilang berganti.” Sebuah bisikan perlunya penanaman secara terus menerus jiwa patriotik.
Sungguh tepat apabila pembicaraan akan kematian selalu harus dikaitkan dengan masa sebelumnya, masa ketika seseorang dan siap menghadapi kematian. Sebagai perencanaan ang matang, sebuah peluang untuk melakukan revisi dan penyempurnaan. Dan, itu semua tercakup dalam rumusan sederhana, “amal shaleh.”
Dalam wujud sederhana amal shaleh meliputu antara lain: 1). Menambah taqwa, 2). Menaati orang tua dan yang dituakan; 3). Mendidik generasi muda; 4). Menciptakan pergaulan yang harmonis, toleran, yang mampu melahirkan rasa setia kawan yang andal.
Menyambut tahun baru, selalu memerlukan kaji ulang, supaya makin pas adanya, yakni memperoleh “umur kedua,” Sudah waktunya kita merenung dan segera berbuat, agar hidup dan mati ini makin bermakna. Amiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar