Selasa, 28 Februari 2012

Refleksi HAB Kementerian Agama Ke-67

Reaktualisasi Ikhlas Beramal
Syaihul Muhlis (Guru Sosiologi MAN Kandat)

Menjadi tua itu pasti. Menjadi dewasa itu pilihan".
Ungkapan bak mantera tersebut penting direnungkan, utamanya hari ini, saat Kementerian Agama RI merayakan Hari Amal Bhakti (HAB) yang ke-66 (03 Januari 1946 - 03 Januari 2012). Untuk menjadi tua, tidak banyak yang perlu dilakukan. Bahkan, tanpa diminta pun label ‘tua’ lambat-laun pasti akan menghampiri. Sedangkan untuk menjadi dewasa, selain tekad yang bulat diperlukan upaya untuk mengusahakannya. Karena kedewasaan tidak datang begitu saja. Ia hanya mendatangi orang yang mau mengusahakannya dengan baik.

Hari Amal Bhakti; Momentum Metamorphosis

Bertambahnya usia tanpa dibarengi pemaknaan yang benar hanya akan menjadikan kita kian tua. Dan semakin tua tidak otomatis bertambah dewasa. Karena kedua hal tersebut berbeda konotasi dan sifatnya. Terma 'tua' cenderung berkonotasi negatif dan bersifat kuantitatif. Sebutan ‘tua’ seringkali dilekatkan dengan citra renta, lemah, kolot, serta kondisi minor lainnya. Dan hanya dengan bertambahnya usia, cap semakin 'tua' sudah layak disematkan. Berbeda dengan terma 'dewasa' yang berkonotasi positif dan lebih bersifat kualitatif. Label ‘dewasa’ acapkali dihubungkan dengan citra bijaksana, adil, dan tegas. Oleh karena itu, bertambahnya usia belum cukup disebut ‘dewasa’. Baru sah disebut 'dewasa' apabila ada nilai signifikan yang dimiliki si penyandang sebutan tadi.

Sehubungan demikian, kita semua berharap, bertambahnya tahun amal bhakti menjadikan Kementerian Agama (Kemenag) semakin dewasa, tidak sekadar bertambah tua. Untuk itu, seyogyanya segenap warga Kemenag membubuhkan makna (positif) pada momen HAB ke-65 ini. Makna yang dimaksud antara lain tekad ber-metamorphosis (berubah bentuk). Berubah menjadi sesuatu yang lebih ber-arti dan bermanfaat bagi masyarakat dibandingkan sebelumnya. Berubah menjadi insan terbaik, sebagaimana sabda Rasulullah saw, "sebaik-baiknya manusia adalah orang yang paling banyak (menebar) manfaat bagi orang lain".

Tekad Menuju Reformasi Birokrasi

Pemerintahan  SBY bertekad melaksanakan reformasi birokrasi secara menyeluruh. Dan untuk menyambut reformasi birokrasi tersebut, Kemenag sudah menyiapkan dua agenda besar. Pertama, membangun standar prosedur kerja yang lebih terukur dan akuntabel. Kedua, melakukan analisis jabatan yang berimplikasi pada assessment bagi seluruh pegawai (Majalah Ikhlas Beramal, Juni 2010). Kedua agenda besar tersebut merupakan upaya Kemenag untuk mengikis budaya kerja yang tidak efektif yang selama ini menghantui birokrasi.

Namun, kedua agenda besar tersebut tidak akan berjalan dengan semestinya apabila tidak ditopang oleh kebulatan tekad seluruh warga Kemenag untuk menerima perubahan budaya kerja itu secara arif. Sehubungan demikian, menurut hemat penulis, hal pertama yang sebelumnya harus diperhatikan demi suksesnya reformasi birokrasi adalah penataan pola pikir para pegawai dalam menyikapi perubahan. Ini penting dilakukan, mengingat tekad adalah buah dari alur panjang suatu pikiran. Oleh karena itu, yang diperlukan adalah sikap mau membuka diri pada perubahan dan kemudian berusaha menempatkan diri di tengah-tengah perubahan. Terkait hal tersebut, sebenarnya ada kaidah yang cukup akrab di telinga sebagian besar warga Kemenag, yaitu: "almuhafadzah ala al-qadimi as-shalih wa al-akhdzu bi al-jadidi al-ashlah" (memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik). Merujuk kaidah ini, sebenarnya warga Kemenag sudah memiliki pijakan kuat dalam menyikapi perubahan, yakni moderat (tawassuth). Dengan sikap ini, tidak semua atribut lama dibuang dan kemudian memungut semua atribut baru. Karena yang dijadikan pedoman pengambilan, bukan 'barang lama' atau 'baru'. Melainkan kebaikan dan kepatutan. Pimpinan boleh berganti-ganti, tapi kebaikan dan kepatutan yang ditinggalkan para pendahulunya tidak boleh diganti dengan keburukan dan ketidakpatutan.

Hal kedua yang juga harus diperhatikan dalam program reformasi birokrasi adalah pelayanan publik. Sebagai institusi pemerintah, Kemenag berkewajiban memberikan pelayanan prima kepada masyarakat, utamanya di bidang keagamaan. Namun harus diakui, dalam prakteknya, masih ada yang belum bisa memosisikan dirinya sebagai pribadi yang selalu siap melayani dengan tulus. Alih-alih melayani masyarakat dengan prima, yang terjadi adalah pelayanan ala kadarnya. Atau baru siap melayani dengan prima kalau sudah dilayani dengan prima pula. Jika sikap demikian dibiarkan terjadi, maka dikhawatirkan akan mengrogoti secara sistemik citra positif institusi ini. Ibarat pepatah, karena nila setitik rusak susu sebelengga. Sehubungan demikian, internalisasi konsep ‘abdi masyarakat’ menjadi penting bagi seluruh pegawai, mulai dari level pelaksana hingga pejabat. Karena tugas utama institusi pemerintah adalah melayani bukan dilayani, pamong praja bukan pangreh praja. Dalam bahasa Kolumnis Mohamad Sobary (2007), tugas abdi masyarakat itu bukan "ngereh" atau "nyuruh" melainkan "mengemong" atau memberi perlindungan kepada rakyat.

Reaktualisasi Ikhlas Beramal

Singkatnya, kesuksesan reformasi birokrasi yang dicanangkan pemerintah sangat bergantung pada kemauan dan kemampuan orang-orang yang terlibat di dalamnya. Dan bagi warga Kemenag, makna yang terkandung dalam kalimat “Ikhlas Beramal” sudah lebih dari cukup sebagai modal perjalanan dalam melakukan reformasi birokrasi. Karena motto tersebut bermakna bahwa karyawan Kementerian Agama dalam mengabdi kepada masyarakat dan negara berlandaskan niat beribadah dengan tulus ikhlas. Semoga semua warga Kemenag diberi ma’unah dalam  mengamalkannya. Amiin.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar