Senin, 01 Maret 2010

POST-POWER SYNDROME


Post-power syndrome adalah gejala yang terjadi saat ‘penderita’ hidup dalam bayang-bayang kebesaran masa lalunya (entah jabatannya atau karirnya, kecerdasannya, kepemimpinannya atau hal yang lain), dan seakan-akan tidak bisa memandang realita yang ada saat ini.
Secara umum syndrome ini bisa kita katakan sebagai masa krisis. Jika digolongkan, krisis ini adalah semacam krisis perkembangan. Dalam arti, pada fase-fase tertentu di dalam kehidupan kita, kita bisa mengalami krisis-krisis semacam ini. Gejala post-power syndrome ini, khususnya adalah krisis yang menyangkut satu jabatan atau kekuasaan, terutama akan terjadi pada orang yang mendasarkan harga dirinya pada kekuasaan. Kalau misalnya dia tidak mendasarkan dirinya pada kekuasaan, gejala ini tidak tampak menonjol. Gejala ini awalnya muncul menjelang berakhirnya sebuah kekuasaan yang selama ini dibanggakan.
Gejala ini biasanya ditemui pada orang-orang yang baru saja meletakkan jabatan, misalnya presiden, gubernur, walikota, bupati, camat, lurah, ketua RW, RT. Gejala ini  juga bisa dialami ketua kelas, ketua instansi, ketua partai, ketua organisasi, bahkan ketua perkumpulan atau paguyuban. Ketika menjabat, orang tersebut memiliki kekuasaan (power) untuk memerintah. Ucapannya diperhatikan. Pengikutnya banyak. Ia pun dikelilingi oleh orang-orang yang siap membantunya.
Ketika lepas jabatan kemudian orang tersebut merasa kehilangan itu semua dan berusaha mencari pelampiasan. Memerintah orang seperti ketika dia masih menjabat, atau mencari posisi sejenis di tempat lain. Seringkali emosinya tidak terkontrol. Yang berbahaya adalah ketika dia merasa dikudeta. Pelampiasannya bisa negatif. Apalagi jika ada provokator di sekelilingnya. Ia bisa melakukan tindakan destruktif yang sulit dinalar.
Beberapa Gejala Post-Power Syndrome:
1.  Gejala fisik, misalnya menjadi jauh lebih cepat terlihat tua tampaknya dibandingkan waktu ia bekerja. Rambutnya didominasi warna putih (uban), berkeriput, dan menjadi pemurung, sakit-sakitan, tubuhnya menjadi lemah.
2.   Gejala emosi, misalnya cepat tersinggung kemudian merasa tidak berharga, ingin menarik diri dari lingkungan pergaulan, ingin bersembunyi, dan sebagainya.
3.  Gejala perilaku, misalnya malu bertemu orang lain, lebih mudah melakukan pola-pola kekerasan atau menunjukkan kemarahan baik di rumah atau di tempat yang lain.
Ciri-ciri orang yang rentan menderita post-power syndrome:
1.   Orang-orang yang senangnya dihargai dan dihormati orang lain, yang permintaannya selalu dituruti dan suka dilayani orang lain.
2.  Orang-orang yang membutuhkan pengakuan dari orang lain karena kurangnya harga diri, jadi kalau ada jabatan dia merasa lebih diakui oleh orang lain.
3.   Orang-orang yang menaruh arti hidupnya pada prestise jabatan dan pada kemampuan untuk mengatur hidup orang lain, untuk berkuasa terhadap orang lain. Istilahnya orang yang menganggap kekuasaan itu segala-galanya atau merupakan hal yang sangat berarti dalam hidupnya.
Iblis Penderita Post-Power Syndrome Pertama
Iblis memang semula makhluk yang paling taat dan paling tinggi derajatnya. Boleh dibilang, dibandingkan malaikat, si iblis ini jauh di atasnya tetapi iblis tetap punya kelemahan, yaitu dia tidak tahan dengan keadaan di mana tadinya seorang yang paling tinggi derajatnya, paling mulia dan paling senior, tiba-tiba ‘ada makhluk asing pedatang baru’ yang diangkat begitu saja oleh Allah Swt. Bahkan, si iblis yang sangat mulia itu malah disuruh tunduk dan sujud kepada orang baru yang dianggap hanya merusak harmoni alam semesta.
Tidak tanggung-tanggung, resistensi itu datang juga dari malaikat pada awalnya. Sempat malaikat itu mempertanyakan, sebagaimana disebutkan di dalam al-Quran: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata, “Mengapa Engkau hendak menjadikan di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui. (QS. al-Baqarah: 30)
Kelebihan malaikat dibanding iblis adalah mereka adalah tipe makhluk yang taat mutlak kepada Allah Swt. Ketika Allah Swt mem-’veto’ dan menggunakan ‘hak preogratifnya’ untuk menetapkan bahwa Adam As sebagai makhluk baru harus dijadikan khalifah, bahkan alam semesta ini dipersembahkan kepadanya, malaikat pun takut dan tunduk kepada ketetapan Allah Swt ini. Mereka pun berujar: Mereka menjawab, “Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.(QS. al-Baqarah: 32)
Adapun si iblis, nampaknya dia tidak tahan menahan gejolak emosinya. Dia tidak terima kalau posisinya yang superior tiba-tiba digantikan oleh makhluk yang dianggapnya lemah, bodoh, tidak menguasai bidangnya, bahkan unsurnya tidak sehebat unsur si iblis. Iblis merasa dirinya lebih baik daripada Adam. Iblis merasa dirinya lebih ahli daripada Adam. Iblis merasa dirinya lebih berhak daripada Adam untuk semua wewenang dan kekuasaan yang Allah berikan. Iblis merasa diperlakukan tidak adil oleh Allah. Mengapa seorang Adam yang dianggap ‘nobody’ tiba-tiba diangkat dan diberi hak dan wewenang sebesar itu?
Jiwa iblis berontak dan tidak terima atas ‘anugerah’ kepada Adam. Bagi iblis, apa yang Allah berikan kepada Adam bukan anugerah, tetapi ‘malapetaka’. Ya, malapetaka, karena libido kekuasaan iblis telah membangkitkan api cemburunya kepada Adam. Reaksinya berbeda dengan para malaikat. Kalau malaikat digertak Allah, mereka bertasbih dan mau disuruh sujud kepada Adam, iblis bereaksi sebaliknya. Baginya, sujud kepada Adam adalah hal yang harus dihindari. Ia tidak mau mengakui wewenang yang Allah berikan kepada Adam, tidak mau sujud dan tidak mau mengakui bahwa Adam diberikan kekuasaan sebesar itu.
Hasilnya, Allah pun murka kepada iblis. Sebab ketaatan iblis selama ini kepada Allah tidak harus dibayar dengan memberikan kekuasaan dan kewenangan kepada-Nya. Iblis tetap makhluk dan Allah tetap Tuhan. Makhluk tidak berhak untuk menghujat Tuhan dan meminta jabatan-jabatan tertentu serta kekuasaan.
Mempunyai prestasi ribuan tahun sebagai penyembah Allah sekalipun, tidak ada alasan bagi Allah untuk memberinya jabatan dan kekuasaan. Jabatan dan kekuasaan justru Allah Swt berikan bukan sebagai hadiah prestasi, melainkan sebagai ujian. Dan Adam diciptakan untuk menerima beban ujian itu. Belum tentu Adam dan anak keturunannya berhasil menempuh ujian itu.
Tetapi belum apa-apa, iblis sudah cemburu berat kepada Adam. Bagi iblis, masalah ini telah membuatnya mengalami apa yang disebut sebagai post-power syndrome. Sebuah penyakit yang sering menjangkiti para pejabat yang sudah pensiun dan tidak punya lagi kekuasaan.
Iblis pun bersumpah untuk terus menerus ‘menggangu’ Adam dalam kehidupannya. Iblis sudah gila dan senewen. Sakit hatinya dijabarkan dengan cara terus berupaya menjebak, mencari kelemahan serta mengintai kalau-kalau Adam melakukan celah kesalahan. Iblis ingin membuktikan bahwa Allah Swt telah salah dalam memilih Adam sebagai khalifah. Maka iblis pun bersumpah: Kemudian saya (iblis) akan mendatangi mereka (keturunan Adam) dari depan dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur.(QS. al-A’raf: 17)
Iblis sakit hati kepada Adam, karena posisinya digantikan oleh Adam. Sampai kiamat pun, Adam dan keturunannya akan terus diganggu. Itulah sepenggal kisah di masa lalu yang perlu kita ambil pelajaran. Di antaranya, jangan sekali-kali kita merasa diri kita akan berkuasa selamanya sebab Allah Swt sangat mungkin mengganti kekuasaan di tangan kita dengan orang lain. Ketika kekuasaan itu diberikan kepada orang lain, jangan ada perasaan tersisih, tergeser, minder atau dipermalukan. Sebaliknya, serahkan semua kepada Allah saja. Sebab kekuasaan, jabatan, kekayaan, wewenang dan lainnya, datang dari Allah. Hak Allah untuk mencabut semuanya dan kita jangan sakit hati, baik kepada Allah atau pun kepada orang yang menggantikan diri kita. Jelas semua ini ujian, Iblis telah jatuh terperosok di dalamnya. Jangan sampai kita pun ikut terperosok di lubang yang sama dengan iblis.
Kalau memang sudah tidak berkuasa, bersikaplah legowo. Berikan wewenang itu kepada orang baru yang ditunjuk. Belum tentu orang itu akan sukses dalam tugas dan amanahnya. Jangan jadi seperti iblis yang malah tidak berhenti menggangu Adam dan keturunannya.
Inilah pelajaran penting yang perlu kita cermati bersama. Dan tragedi post-power syndrome yang dialami iblis ini sungguh merupakan tragedi besar yang menjadi latar belakang kehidupan manusia di dunia ini dan hubungannya dengan anak keturunan iblis. Sampai hari kiamat, hubungan tidak harmonis antara anak keturunan iblis dan anak keturunan Adam memang akan terus berlangsung. Maka, marilah kita tinggalkan sikap-sikap iblis yang tidak bisa menerima kenyataan. Jangan jadi orang yang mengalami post- power syndrome, karena sikap ini kekanak-kanakan, memalukan dan menggambarkan kekerdilan diri kita.
Cara Mengatasi Post-Power Syndrome
Berbicara soal post-power syndrome, ada beberapa cara untuk mencegahnya:
1.   Pada saat kita melakukan sesuatu atau sebelum menjabat, kita perlu belajar menyadari  bahwa segala sesuatu itu adalah karunia dari Allah Swt termasuk kekuasaan dan jabatan. Tugas kita adalah hanya sebagai alat yang dipakai Allah untuk melakukan pekerjaan-Nya. Jadi, kita tidak boleh mengganggap kekuasaan/ jabatan yang dipercayakan kepada kita sebagai milik kita yang harus kita pertahankan sepenuhnya.
2.   Kita juga harus selalu menyadari bahwa kekuasaan itu tidak bersifat permanen dan kita harus menyiapkan diri apabila suatu ketika kuasa itu lepas dari diri kita. Apabila tiba-tiba kita kehilangan kekuasaan, tetapi kita mempunyai persiapan sebelumnya, maka kita akan lebih tahan menghadapi krisis ini.
3.   Sebaiknya selama memegang jabatan, kita tidak memikirkan bagaimana mempertahankan kekuasaan, tetapi kita memikirkan untuk melakukan kaderisasi. Justru karena dengan kita melatih dan mendidik, maka nantinya kita dihargai, karena kita telah melakukan suatu regenerasi dan melakukan pendidikan, tugas mendidik orang lain, bukan karena kekuasaan yang kita miliki.
4.   Kita perlu belajar rendah hati dan sebanyak mungkin menanamkan kebaikan selama kita berkuasa. Kalau kita banyak menyakiti hati orang, kita banyak menindas orang, waspadalah bahwa gejala post-power syndrome ini dekat dengan kita. Tujuan utama kekuasaan bukan agar kita dihargai orang, tetapi supaya kita berbuat banyak bagi kesejahteraan orang lain. Wallahu a’lam bisshawab. (Tulisan ini disarikan dari berbagai sumber).
 Oleh: Eko Wahyudin, M.Pd - Guru Bahasa Inggris MAN Kandangan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar