Rabu, 31 Maret 2010

Pendidikan sebagai Prioritas Menuju Perubahan

(Sumbangan bagi Menteri Pendidikan KIB II)
(Tulisan I)
Oleh: Avensius Jaman, S. Fil. 

Menarik sekali bahwa hasil polling yang dilakukan oleh sebuah stasiun televisi swasta beberapa bulan silam terhadap enam ribuan pelajar seindonesia mengenai bidang yang harus dijadikan prioritas dalam upaya membenahi kondisi bangsa ke depan oleh pemerintah adalah pendidikan. Dibilang menarik karena yang paling banyak terlihat morat-marit di permukaan adalah kondisi perekonomian bangsa, tetapi hebatnya, Presiden SBY dalam acara peluncuran era televisi digital pada 20 Mei tahun lalu mengamini suara para mayoritas responder polling tersebut.
Masyarakat awam tentu bertanya-tanya, kalau perekonomian yang paling nyata terlihat di permukaan sebagai bidang yang harus dibenahi demi kesejahteraan bangsa ke depan, kenapa SBY selaku pemegang tampuk kekuasaan pemerintahan RI malah menyetujui pendapat para responder polling tadi. Maka, tanpa bermaksud memberi kredit poin pada “program 100 hari” berikutnya dari pemerintahan SBY-Boediono, berikut penulis memaparkan alasan kesetujuan penulis dengan pendapat para responder plus SBY di atas.
Pendidikan, Syarat Mutlak Kehidupan Bersama
Sebuah adagium mengatakan bahwa pendidikan adalah memanusiakan manusia. Adagium ini muncul dari pemahaman bahwa seseorang yang lahir sebagai manusia bisa berperilaku seperti hewan andaikata tidak mendapat pendidikan yang layak dan seharusnya dalam peradaban bangsa manusia. Toh, kebenaran pemahaman ini telah diaffirmasi oleh penelitian para psikolog humanistik seperti Abraham Maslow yang berteori tentang pribadi integer yang mana di dalam mencapai itu, seseorang harus dididik sebagaimana mestinya tentang yang baik dan yang jahat (moral). Sementara dari aliran psikoanalisis Ny. Freud — istri Sigmund Freud yang juga Bapak Psikoanalisis — mengatakan bahwa 8 tahun pertama fase hidup manusia sungguh sangat menentukan perjalanan hidup seseorang selanjutnya.
Maka, kalau kita cermati, pendapat para psikolog dari dua aliran berbeda ini sama-sama secara tidak langsung mau menegaskan bahwa pendidikan merupakan hal yang harus dipentingkan demi menciptakan pribadi integer di kemudian hari. Tentu saja, untuk memahami ini kita harus tahu bahwa pendidikan tidak harus berarti duduk di bangku sekolah sebab lingkungan keluarga juga merupakan lembaga pendidikan bahkan yang primer. Namun, demi tidak membiasnya poin yang hendak penulis sampaikan pada kesempatan ini, marilah kita membatasi diri pada pendidikan formal sebagai sebuah sistem di dalam konteks kenegaraan dan kebangsaan Indonesia raya.
Berangkat dari pemahaman akan adagium tadi, marilah kita mengamini pendapat para pelajar yang jadi responder dalam polling tadi. Tetapi masalahnya, bagaimana menempatkan pendidikan sebagai prioritas dan bagaimana pula itu dibenahi? Inilah “PR” yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemimpin Indonesia selanjutnya, entah SBY-Boediono, entah pula pengganti duet ini. Sebagai sumbangan pemikiran, penulis mengajak kita semua segenap anak bangsa baik pemimpin maupun yang dipimpin untuk membenahi bangsa ini dengan terlebih dahulu memberikan sebuah pengandaian berikut.
Indonesia yang hendak dibangun diandaikan sebagai sebuah bangunan. Aspek-aspek yang hendak dibenahi adalah bagian per bagian dari bangunan itu tetapi yang menjadi fundamennya adalah pendidikan formal sebagai sebuah sistem yang mesti berlaku nasional. Pendidikan formal, di negara manapun pasti “selalu harus” bersifat nasional agar tercipta sebuah visi bersama ke depannya. Tanpa itu, bisa-bisa penerapan sistem kurikulum pendidikannya seturut kehendak penguasa. Kalau pendidikan telah menjadi alat bagi mulusnya ambisi sektarian penguasa, bersiaplah untuk menyaksikan ambruknya “nation building” dari sebuah bangsa berdaulat di episode selanjutnya. Karena itu, Pendidikan formal di Indonesia pun patut menerapkan sebuah sistem yang bersifat nasional, yang ditangani secara profesional, dan yang tentunya mengutamakan misi utama yakni memanusiakan manusia Indonesia berjiwa pancasilais. Bahwasanya pendidikan sudah merupakan sesuatu yang telah diselenggarakan secara nasional selama ini, sudah kita mafhumi bersama. Tetapi apakah pendidikan yang sudah diselenggarakan itu memiliki roh yang hendak memanusiakan manusia Indonesia yang pancasilais, ini yang belum sepenuhnya kita terapkan.
Selain itu, yang terlibat dalam kegiatan penyelenggaraan pendidikan yakni guru/dosen di satu pihak dan peserta didik di pihak lainnya, hampir seluruhnya tidak menaruh perhatian pada arti pentingnya pendidikan, apalagi pendidikan yang harus bersifat nasional nan khas Indonesia. Para guru dan dosen misalnya, mengabdikan hidupnya sebagai pendidik lebih didorong dan dipandang sebagai sebuah mata pencaharian semata. Hanya segelintir orang saja yang sadar mengapa dia terpanggil menjadi pendidik. Sedangkan di sisi lain, para peserta didik pun terjangkiti mental pragmatis yang sama: betah duduk di bangku sekolah meski diajari guru killer sekalipun hanya biar selekas tamat insyallah langsung bisa kerja. Padahal, tujuan penyelenggaraan pendidikan tidak sebatas itu. Inilah yang jarang dipahami orang-orang, bahkan oleh “mereka yang di atas sana” yang mana tercermin dari kebijakan mereka akan penerapan kurikulum yang berkesan asal jadi dan tidak jatuh tempo. Inilah yang membuat kita prihatin lalu mengimpikan lahirnya sosok-sosok guru Indonesia sekelas Ki Hadjar Dewantara sang peletak dasar pendidikan formal Indonesiaa, N. Driyarkara filsuf kebanggaan Indonesia yang oleh dunia internasional dikenal karena teori filsafat manusianya, Nurcholis Madjid dengan sistem pendidikan berwujud Universitas Paramadinanya atau juga Romo Mangun yang mengarsiteki sebuah kurikulum pendidikan berbasis lingkungan pada anak-anak dari keluarga miskin di bantaran Kali Code, Jogja. Sungguh, kita rindu sosok-sosok seperti itu di saat bangsa kita mengalami krisis identitas diri akibat penyelenggaraan pendidikan yang berkesan asal jadi tadi. Tetapi konyol pula kalau kita merasa kehabisan stok intelektual pendidikan. Negeri kita sebetulnya kaya akan pemikir-pemikir sekaliber keempat guru bangsa di atas, hanya saja mereka tidak berada pada posisi strategis untuk terjun langsung membenahi pendidikan yang benar-benar mendidik manusia menjadi manusia yang utuh menyeluruh. (bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar