Minggu, 21 Maret 2010

ANAK MTs JAMBU MENEMBUS DUNIA LEWAT BUKU

Oleh Ahmad Ikhwan Susilo*)
Bila Clifford Geertz pernah menduniakan Kediri melalui disertasinya dari hasil riset selama di Pare pada rentang waktu 1952 – 1954 yang berjudul Mojokuto; Dinamika Sosial Sebuah Kota di Jawa tentang model trikotominya dalam membagi agama orang Jawa menjadi santri, abangan, dan priyayi. Pun kiprah Boekhandel Tan Khoen Swie sebagai penerbit tersohor di seantero Jawa pada awal abad ke-19 – berdiri sebelum Balai Pustaka – yang merupakan cikal bakal penerbitan di Indonesia yang mengantar nama Kediri menjelajah dunia dengan buku-buku terbitannya tentang karya sastra dari pujangga besar seperti Ronggowarsito dan Padmosusastro. Maka, kini giliran anak-anak Mts Miftahul Huda Jambu kecamatan Kayen Kidul yang menduniakan Kediri melalui buku antologi yang berjudul Aku dan Ibuku; Catatan Bakti Sepekan Anak-Anak Jambu Kediri.
Bekerjasama dengan Yayasan Indonesia Buku Jogjakarta, buku yang terbit pada Agustus 2009 dengan tebal 350 halaman ini sudah dikoleksi beberapa Taman Baca Masyarakat dan perpustakaan di Indonesia bahkan dunia, seperti Leiden University Library Netherlands, Library of Congress Washington, National Library of Australia, dan beberapa perpustakaan di Jepang. Selain itu, buku ini juga dikoleksi beberapa kantor kedutaan besar negara-negara asing di Indonesia. Sebagaimana disampaikan oleh Muhidin M.Dahlan (esais dan kerani dari Indonesia Buku yang menjadi salah satu nara sumber dalam acara bedah buku tersebut) “Mereka tertarik dan mau mengoleksi buku ini karena mereka ingin mengetahui kisah-kisah asli warga Indonesia”.
Terbitnya buku ini berawal dari tugas menulis Bahasa dan Sastra Indonesia sebagai bagian dari ujian praktek setelah ujian akhir nasional. Tepatnya menulis catatan harian tentang aktivitas diri dan pengamatan terhadap sosok dan peran ibu mereka di rumah; mulai bangun tidur hingga malam menjelang tidur dalam waktu sepekan.
Juga bukan hal yang mudah untuk mengkondisikan mereka supaya mau menulis. Bahkan tidak sedikit yang menolak saat kali pertama tugas ini diberikan. Ketidakbiasaan dan minimnya budaya membaca membuat mereka merasa kesulitan menuangkan setiap detil gagasan dan perasaan dalam sebuah kata-kata yang terangkai menjadi kalimat-kalimat yang tertulis. Arahan dan motivasi pun terus dikobarkan agar bara semangat mereka untuk menyelesaikan karya tulisnya tidak padam. Ini pula yang menjadi keniscayaan penulis bahwa mereka sebenarnya mempunyai potensi dan daya kreatifitas yang besar namun belum pernah tergali. Terpendamnya potensi diri ini karena sedikit sekali dorongan atau gesekan yang memantik mereka untuk berkarya.
Memang, sebelumnya perlu diakui bahwa budaya membaca dan menulis bagi warga desa Jambu secara umum dan anak-anak MTs Miftahul Huda secara khusus masih sangat minim. Minimnya budaya ini karena tidak tersedianya akses bacaan yang murah dan mudah. Perpustakaan sekolah yang ada pun hanya mempunyai koleksi buku yang terbatas dan sangat tidak menarik perhatian. Akhirnya, generasi desa yang tercipta adalah generasi yang jarang bersinggungan dengan buku; menukil ungkapan sastrawan Taufik Ismail, merupakan generasi yang rabun membaca dan lumpuh menulis.
Ketika menerima penghargaan Habibie Award 2007, Taufik Ismail mengkritisi bahwa minimnya budaya membaca dan menulis ini pun tak luput dari sistem pendidikan yang tidak memberikan porsi yang besar terhadap pembiasaan membaca dan menulis bagi anak didik. Sehingga hasilnya pun dapat disebut sabagai bagian dari “generasi nol buku”.
Di saat para pelajar Indonesia tidak mendapatkan tugas membaca dan menulis, ternyata para pelajar di Amerika Serikat diharuskan membaca 32 buku dan bahkan di negara berkembang, seperti Thailand, para pelajarnya juga diharuskan membaca lima buku. Kewajiban membaca dan mengarang, menurut Taufik, bukan hanya bertujuan untuk membuat siswa menjadi sastrawan, akan tetapi merupakan keahlian yang sangat dibutuhkan oleh siapapun di setiap profesi. “Membaca buku sastra mengasah dan menumbuhkan budaya baca buku secara umum. Latihan menulis mempersiapkan orang mampu menulis di bidangnya masing-masing,” ujarnya. (ANTARA News, Jakarta).
28 Pebruari 2010 adalah tonggak sejarah baru bagi Desa Jambu – Kayen Kidul – Kediri. Di mana untuk kali pertama sejarah literatur di desa ini dimulai dengan kehadiran taman baca masyarakat yang dinamai Gelaran Buku Jambu. Tidak sekadar taman baca yang hanya menerima hibah buku dari para pezakat buku, namun gelaran ini juga mampu menerbitkan buku sendiri. Dan buku pertama yang telah diterbitkan adalah buku yang ditulis oleh anak-anak MTs Miftahul Huda Jambu. Kerja sama yang dilakukan dengan Yayasan Indonesia Buku Jogjakarta yang dikoordinir oleh Muhidin. M Dahlan ini, kini telah mampu meningkatkan budaya membaca dan menulis bagi warga dan anak-anak sekolah di desa ini. 
Kehadiran buku dan TBM tersebut memberikan satu kesadaran bahwa anak-anak desa juga tak kalah dengan anak-anak kota. Mereka juga mempunyai potensi kreatifitas yang besar. Mereka pun mampu berkembang bilamana terfasilitasi dengan adanya akses informasi yang lebih. Sehingga keberadaan taman baca sebagai media pendidikan non formal yang menyediakan berbagai buku-buku pengetahuan mampu membuka jendela pemikiran mereka lebih lebar.
Dari buku-buku itulah mereka kemudian mampu menuliskan hal-hal di sekitarnya menjadi sebuah cerita. Menjadi sebuah buku. Hingga akhirnya, generasi muda di desa ini kelak tak akan lagi menjadi generasi nol buku. Generasi yang rabun membaca dan lumpuh menulis.  
*)    Penulis adalah guru Bahasa dan Sastra MTs Miftahul Huda Jambu. Pengelola TBM  Gelaran Buku Jambu Kediri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar