Jumat, 02 Januari 2009

MAKANAN DAN MINUMAN YANG DIHARAMKAN DALAM AL-QUR’AN

MAKANAN DAN MINUMAN YANG DIHARAMKAN DALAM AL-QUR’AN

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Mendiskusikan persoalan kehidupan manusia, terutama hal-hal yang bersifat keduniawiaan, baik urusan yang penting, maupun yang remeh, urusan yang mengedepankan kepentingan publik, maupun kepentingan pribadi, baik menyangkut bidang politik, hukum, sosial, ataupun ekonomi, kadang-kala bermula pada persoalan pemenuhan akan keinginan hawa nafsu, atau perut (baca: makanan dan minuman).
Dan berbicara tentang makanan dan minuman, sepertinya selalu menjadi pembicaraan yang menarik, mulai dari tukang sampah, hingga pemilik mobil “wah”, dari seorang kondektur metro mini hingga direktur usaha agronomi.
Sekarang yang menjadi pertanyaan, apakah Islam sebagai agama yang dianut hampir mayoritas di negeri ini, juga secara serius mengatur dan “menyoal” tentang makanan dan minuman?
Dalam referensi kajian Islam ternyata disana ditemukan nash al-Qur’an maupun hadith Nabi Saw. yang membahas tentang makanan. Makanan atau ta’am dalam bahasa Al-Qur’an adalah segala sesuatu yang dimakan atau dicicipi. Karena itu "minuman" pun termasuk dalam pengertian ta’am. Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 249, menggunakan kata shariba (minum) dan yat'am (makan) untuk objek berkaitan dengan air minum.
Kata ta’am dalam berbagai bentuknya terulang dalam Al-Qur’an sebanyak 48 kali yang antara lain berbicara tentang berbagai aspek berkaitan dengan makanan. Belum lagi ayat-ayat lain yang menggunakan kosa kata selainnya.
Perhatian Al-Qur’an terhadap makanan sedemikian besar, sampai-sampai menurut pakar tafsir Ibrahim bin Umar Al-Biqa'i, "Telah menjadi kebiasaan Allah dalam Al-Qur’an bahwa Dia menyebut diri-Nya sebagai Yang Maha Esa, serta membuktikan hal tersebut melalui uraian tentang ciptaan-Nya, kemudian memerintahkan untuk makan (atau menyebut makanan)."
Lebih jauh dapat dikatakan bahwa Al-Qur’an (QS.106:3-4), menjadikan kecukupan pangan serta terciptanya stabilitas keamanan sebagai dua sebab utama kewajaran beribadah kepada Allah. “Hendaklah mereka menyembah Allah, yang memberi mereka makan sehingga terhindar dari lapar dan memberi keamanan dari segala macam ketakutan”.
Adapun kajian tematik makanan dan minuman dalam Al-Qur’an terperinci sebagai berikut: Pertama, makanan yang halal, Kedua, makanan yang diharamkan, Ketiga, etika pada makanan, Keempat, penyembelihan, Kelima, hal berburu, dan Keenam, minuman yang diharamkan.
BAB II
MAKANAN

Bahwa asal hukum segala jenis makanan baik dari hewan, tumbuhan, laut maupun daratan adalah halal. Karena asal hukum makanan adalah halal, maka Allah tidak merinci satu persatu dalam Al-Qur’an tentang makanan-makanan yang dihalalkan, demikian juga Rasul Allah SAW dalam Hadith-hadth beliau. Lain halnya dengan makanan haram, Allah SWT telah merinci secara detail dalam Al-Qur’an dan melalui Rasul-Nya.
Selanjutnya penjelasan tentang makanan haram akan penulis paparkan berdasarkan kedua sumber tersebut.
1. Makanan yang diharamkan di dalam Al-Qur’an:
Banyak disebutkan di dalam al-Qur’an mengenai ayat-ayat yang menerangkan keharaman makanan. Di sini akan penulis paparkan perinciannya berdasar QS. Al-Maidah ayat 3, sebagai berikut:
1.1. Bangkai dan segala jenisnya
Bangkai adalah semua binatang yang mati sendiri dengan tidak ada usaha lain untuk mematikannya. Sedang menurut syara’ didefinisikan sebagai binatang yang tidak disembelih sesuai dengan aturan syar’a:
1. Binatang yang tercekik hingga mati ( Munkhaniqah).
2. Binatang yang dipukul dengan tongkat atau sejenisnya hingga mati (Mauqudhah).
3. Binatang yang jatuh dari tempat ketinggian lalu mati (Mutaradiyah).
4. Binatang yang ditanduk binatang lain lalu mati karena tandukan tersebut (Nati hah).
5. Binatang yang mati karena terkaman binatang buas dan pemangsaannya.
Jika salah satu dari binatang–binatang ini ditemukan masih dalam keadaan hidup kemudian disembelih, maka hukumnya halal.
6. Hal-hal yang disamakan dengan bangkai, yaitu misalnya sesuatu (bagian) yang dipotong dari binatang yang masih hidup statusnya sama seperti bangkai berdasarkan sabda Nabi SAW. “Apa yang dipotong dari binatang selagi ia masih hidup adalah bangkai”.
Pengecualian bangkai:
Meski sudah dijelaskan haram hukumnya memakan bangkai dan segala sejenisnya, sunnah menunjukkan ada pengecualian dua bangkai yang halal dimakan, yaitu bangkai ikan dan belalang. Ibnu Umar RA mengatakan:
أحلّت لنا ميتتا ن ود مان , أمّا الميتتا ن : فا لحو ت والجرا د , وأما الدّ مان : فا لكبد و الطّحا ل
Dihalalkan bagi kami dua bangkai dan dua darah. Dua bangkai itu adalah bangkai ikan dan bangkai belalang. Sedangkan dua darah itu adalah hati dan limpa (empedu)”.
Hukum Memakan Ikan atau binatang laut lainnya yang mengapung di permukaan Laut.
Dalam masalah ini, pendapat para ulama terbagi menjadi dua:
Pertama, halal untuk dimakan. Ini adalah pendapat Imam Malik, Shafi’i, Ahmad, kalangan al-Dahiri, dengan berargumentasi pada dalil-dalil sebagai berikut:
QS.Faathir (35):12,“Dan tiada sama (antara) dua laut; yang Ini tawar, segar, sedap diminum dan yang lain asin lagi pahit. dan dari masing-masing laut itu kamu dapat memakan daging yang segar”.
S.Al-Maidah (5):96,“Dihalalkan bagimu binatang buruan lautdan makanan (yang berasal) dari lautsebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan”.
Kedua ayat pertama di atas secara umum menunjukkan seluruh buruan laut adalah halal, dan Allah tidak mengkhususkan binatang tertentu. Allah SWT berfirman dalam QS.Maryam (19): 64, وما كان ربّك نسيّا ) “Dan tidaklah Tuhanmu lupa”)
Keumuman sabda Rasul Allah SAW ketika ditanya tentang air laut, “Ia (air laut) suci airnya dan halal bangkainya”, (هو الطهور ما وه ائحل ميتته ) , sehingga Hadith itu memuat atau memasukkan bangkai binatang laut dengan berbagai jenisnya.
Atsar Ibn Umar mengenai pengecualian bangkai yang halal dimakan “Dihalalkan bagi kami dua bangkai, bangkai ikan dan belalang”, ( فا لحو ت والجرا د أحلّت لنا ميتتا ن)
Kedua, tidak dihalalkan memakan yang sudah mati dan mengapung dipermukaan air laut. Pendapat ini dipegang oleh Abu Hanifah dan sahabat-sahabatnya. Akan tetapi argumentasi mereka yang menyandarkan hadith riwayat Jabir, menurut kesepakatan ahli hadith adalah da‘if.
Menyikapi kedua pendapat di atas, menurut hemat penulis adalah:
Pendapat yang pertama yang dikemukakan dari kalangan jumhur yang dapat diterima dan tidak perlu disanggah, karena dalil-dalil yang dikemukakan jumhur ulama lebih kuat. Akan tetapi, jika secara medis dibuktikan bahwa ikan-ikan yang mati mengapung memang rusak dan membahayakan kesehatan, lebih-lebih jika matinya sudah lama, maka menjaga diri untuk tidak memakan ikan-ikan tersebut jauh lebih sesuai dengan kaidah-kaidah syara’ yang mengharamkan makanan-makanan yang buruk.
1.2. Darah yang mengalir
Tidak dihalalkan memakan darah yang dialirkan, berdasar QS.Al-Maidah: 3 di atas. Adapun darah yang sedikit, seperti darah yang berada di leher hewan sembelihan yang tidak mungkin dihilangkan, hukumnya tidak apa-apa (dimaafkan) untuk dikonsumsi bersama dagingnya.
Pengecualian darah yang diharamkan, adalah hati dan limpa sebagaimana disebutkan dalam hadith Ibn Umar di atas.
1.3. Daging Babi
Semua jenis babi, baik babi yang diternakkan maupun babi liar (basa jawa: celeng), jantan ataupun betina adalah haram untuk dimakan berdasarkan QS.Al-Maidah:3. Dan tidak ada perbedaaan pendapat di kalangan ulama tentang haramnya babi, baik itu dagingnya, lemaknya maupun seluruh anggota badannya.
Adapun penyebutan “daging babi” dalam QS.Al-Maidah: 3 di atas, dikarenakan daging adalah sasaran utama yang dimakan dari suatu binatang. Sementara bagian-bagian tubuh yang lain kedudukannya seperti pengikut saja. Selain itu penyebutan daging tersebut juga dimaksudkan untuk menunjukkan haramnya sesuatu yang menurut mereka ( atau pengikut agama lain) baik dan lebih utama dibanding daging-daging yang lain, juga dimaksudkan untuk menunjukkan betapa jelas keharaman tersebut.
Sementara itu kata ganti “hu” dalam Firman Allah QS. Al-An’am: 145 : atau daging babi - Karena Sesungguhnya semua itu kotor( dalam bahasa Arab dikembalikan kepada lafazh yang paling dekat dengan dhamir tersebut, yaitu kata (babi) itu sendiri. Dari sini jelas, bahwa babi adalah najis secara keseluruhan, dan sesuatu yang najis wajib dijauhi, sebab babi secara keseluruhan haram termasuk rambut dan bagian-bagian lainnya.
Hikmah atau faidah diharamkannya daging babi adalah : Allah mengharamkan daging babi, karena sesungguhnya daging tersebut menjijikkan dan yang bernafsu memakan daging hanyalah sesuatu yang kotor dan najis. Ia juga membahayakan di semua keadaan dan tempat, sebagaimana yang dibuktikan lewat berbagai hasil penelitian. Memakan daging babi misalnya bisa menyebabkan terserang cacing pita , bahkan konon daging babi memiliki dampak buruk, pada aspek kesopanan dan gairah.
1.4. Hewan yang disembelih dengan menyebut selain nama Allah
Larangan memakan hewan kategori ini disamping ditegaskan dalam QS.Al-Maidah (5):3, juga disebutkan dalam QS.Al-An’am (6): 121: "Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan".
Oleh karena itu, tidak boleh memakan binatang hasil sembelihan orang musyik, orang Majusi maupun orang murtad. Adapun sembelihan orang Nasrani dan Yahudi masih boleh kita konsumsi selama tidak diketahui secara pasti bahwa ia menyebut selain nama Allah. Hal ini dengan mendasarkan pada Firman Allah SWT: “Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka”.(QS.Al-Maidah(5):5)
Dari pembahasan ini, dapat dikembangkan permasalahan-permasalahan sebagai berikut:
a. Daging impor dari negara-negara non-Islam
Jika daging-daging yang diimpor dari negara non-Islam berupa daging-daging binatang laut seperti ikan hingga hiu, maka ia halal dimakan. Sementara jika daging-daging tersebut merupakan daging binatang darat yang boleh dimakan seperti unta, sapi, kambing, atau burung-burung, maka jika ia diimpor dari negara yang mayoritas penduduknya beragama Majusi, Pagan, atau Komunis, maka daging-daging tersebut tidak halal dimakan.
Sedangkan jika ia impor dari negara-negara yang mayoritas beragama Nasrani atau Yahudi (ahli kitab), maka ia halal dimakan dengan dua syarat:
1. Tidak diketahui bahwa mereka menyebut selain Allah pada waktu menyembelih binatang-binatang tersebut, misalnya menyebut demi salib, Yesus Kristus, dan sebagainya.
2. Binatang-binatang tersebut harus disembelih sesuai dengan sembelihan syari’at Islam.
b. Keju yang diimpor dari negara non-Islam.
Jika keju diimpor dari negara-negara berpenduduk Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani), dan keju tersebut dibuat dari abomasum binatang yang halal dimakan, maka keju tersebut halal.
Namun, jika keju impor tersebut berasal dari negara berpenduduk Majusi, Paganis, ataupun Komunis, dan terbuat dari abomasum binatang hasil sembelihan mereka, maka apakah boleh memakan keju tersebut?
Dalam hal ini Syaikh Islam Ibn Taimiyah berpendapat: Terkait dengan keju buatan orang Majusi yang diproduksi dari lemak-lemak hasil sembelihan mereka, kalangan ulama terbagi menjadi dua. Adapun pendapat yang kuat adalah bahwa keju mereka halal, dan lemak-lemak serta susunya suci. Hal tersebut dikarenakan, ketika para sahabat menaklukkan Irak mereka memakan keju orang Majusi, dan praktik ini sudah umum dan populer di kalangan mereka.
1.5. Sembelihan untuk selain Allah
Misalnya untuk persembahan berhala, arca, kuburan atau tokoh karismatik yang sudah meninggal, dan masih banyak lagi berhala-berhala yang lain. Pengharaman binatang yang disembelih untuk kepentingan demikian didasarkan pada firman Allah Swt. QS.Al-Maidah (5): 3.
2. Makanan yang diharamkan berdasarkan Sunnah Nabi Saw.
2.1. Daging Keledai Jinak
Jumhur ulama berpendapat tentang haramnya memakan daging keledai jinak, berdasarkan hadith-hadith yang memiliki sanad yang jelas, bahwa Nabi SAW mengharamkan daging keledai jinak. Hadith-hadith tersebut antara lain:
a. Hadith Anas bin Malik RA,
أن رسول الله صلى الله عليه و سلم أمر منا د يا فنا دى : إن الله و رسوله ينهيا نكم عن لحوم الحمر الأ هلية
, فإ نها رجس , فأ كفىت القد ور , وإنها لتفور با للحم
Bahwa Rasul Allah menyuruh seorang penyeru untuk menyerukan, sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya melarang kalian mengkonsumsi daging keledai jinak, sebab hewan ini najis, maka bejana-bejana (hendaknya) dibalik (ditumpahkan isinya), sebab sesungguhnya ia dipenuhi daging”.
b. Hadith Jabir Ibn Abdullah,
أن رسول الله صلى الله عليه و سلم نهى يوم خيبر عن لحوم الحمر الأهلية , وأ ذ ن في لحوم الخيل
“Sesungguhnya Rasul Allah pada waktu perang Khaibar melarang (mengkonsumsi) daging keledai jinak dan mengijinkan daging kuda”.
Di sisi lain , sebagian ulama mazhab Maliki berpendapat – bahwa daging keledai jinak boleh dimakan meskipun hukumnya makruh tanzih (menjauhi/meninggalkan hal-hal yang dibenci).
Adapun menurut penulis; lebih condong kepada pendapat pertama (jumhur), dimana haram memakan keledai jinak. Dengan mendasar argumentasi yang dikemukakan jumhur, serta menurut hemat penulis hewan tersebut lebih diutamakan untuk dimanfaatkan tenaganya, daripada untuk mengkonsumsi dagingnya.
2.2. Segala jenis binatang buas yang bertaring.
Setiap hewan yang memiliki taring yang digunakan untuk memburu mangsanya, baik hewan tersebut liar seperti singa, serigala, harimau, dan jenisnya,maupun yang jinak seperti anjing dan kucing. Penulis sepakat dengan merujuk pendapat jumhur ulama, bahwa binatang –binatang tersebut haram untuk dimakan. Di mana menurut argumentasi jumhur ulama mendasarkan pada dalil-dalil berikut:
a. Hadith Abu Hurairah RA, bahwasanya Nabi Saw bersabda:
كل ذي ناب من السبا ع فأ كله حرام
“Segala jenis binatang buas yang bertaring haram dimakan”.
b. Hadith Ibn Abbas RA, dia berkata,
نهى رسول الله صلى الله عليه و سلم عن كل ذي نا ب من السبا ع وعن كل ذي مخلب من الطير
Rasul Allah Saw melarang setiap binatang buas yang bertaring dan burung yang bercakar tajam”.
c. Diriwayatkan dari Ibn Al-Zubair, dia berkata,
سأ لت خا برا عن ثمن اكلب و السنو ر , قا ل : زجر النبي صلى الله عليه و سلم عن ذ لك
“Saya pernah bertanya kepada Jabir mengenai harga anjing dan kucing, lalu dia menjawab,”Nabi Saw. mengecam (melarang) hal itu”.
2.3. Setiap Jenis Burung yang bercakar tajam (burung-burung pemangsa)
Burung jenis pemangsa yang suka melukai mangsanya antara lain burung elang, burung gagak, rajawali dan sejenisnya. Pengharaman burung-burung pemangsa ini didasarkan pada hadith Ibn Abbas RA di atas, bahwasnya Nabi melarang semua jenis burung yang memiliki cakar tajam.
Yang dimaksud “cakar tajam” di sini adalah cakar yang digunakan untuk berburu mangsa. Sudah maklum adanya, bahwa di kalangan orang Arab yang disebut hewan bercakar hanyalah hewan yang memiliki cakar yang digunakan untuk memburu. Adapun ayam jantan, burung-burung (yang tidak memiliki cakar untuk memangsa), merpati, dan unggas-unggas lainnya, maka tidak disebut sebagai hewan yangbercakar secara bahasa.
Jumhur ulama – selain ulama mazhab Maliki – menegaskan tentang haramnya burung-burung yang bercakar ini.
Di sini penulis juga sepakat dengan jumhur ulama bahwa haram mengkonsumsi burung-burung yang bercakar, dengan pengecualian boleh memakannya dengan syarat; pertama, dalam kondisi “terpaksa”, kedua, tidak sengaja , ketiga, bersifat darurat, dan keempat, tidak melampaui batas, sebatas menghindarkan dari bahaya jiwa (kematian).
2.4. Jallalah
Jallalah adalah hewan pemakan barang-barang najis – atau hewan-hewan lain yang diberi makan barang-barang najis. Hewan-hewan ini,baik daging maupun susunya tidak halal dikonsumsi. Hal ini dinyatakan oleh Imam Ahmad dalam salah satu versi pendapatnya, dan Ibn Hazm, berdasarkan hadith Ibn Umar RA, dia berkata,”Rasul Allah melarang memakan daging hewan-hewan pemakan najis berikut susunya”.
Sementara itu, Imam Shafi’i berpendapat bahwa ia hanya makruh, dan tidak sampai haram, demikian juga menurut Imam Ahmad.
Kemudian secara umum, para ulama sepakat bahwa hewan pemakan najis bisa menjadi halal dengan cara mengkandangkannya terlebih dahulu dan memberinya makanan yang suci. Hanya saja mereka berbeda pendapat mengenai kadar waktu pengkandangannya.
Penulis berpendapat bahwa manakala hewan pemakan najis tersebut adalah hewan ternak yang halal untuk dikonsumsi, dan porsi makanan najis yang dikonsumsinya sedikit, maka boleh memakan hewan tersebut. Karena pada dasarnya makanan pokok dari hewan ternak (seperti sapi, kambing, dan sebagainya) adalah rumput atau tumbuh-tumbuhan, sehingga tidak mungkin akan selamanya memakan makanan yang bernajis.
2.5. Kelompok Binatang yang diperintahkan syara’ untuk dibunuh
Hewan jenis ini antara lain; Tikus, Kalajengking, Burung gagak dan burung sejenis gagak/burung layang-layang, anjing predator, tokek, dan ular. Keenam spesies binatang ini tidak boleh dimakan, berdasarkan hadith sebagai berikut ini:
a. Diriwayatkan dari Aisyah RA, dari Nabi Saw, beliau bersabda:
خمس فوا سق يقتلن في الحرم الفأرة والعقر ب والحد يّا والغراب والكلب العقو ر
“Ada lima binatang yang boleh dibunuh di tanah Haram, Tikus, Kalajengking, burung layang-layang/sejenis gagak, burung gagak, dan anjing (hewan) predator”.
b. Diriwayatkan dari Sa’ad ibn Abi Waqqash RA, dia berkata,”Nabi Saw memerintahkan untuk membunuh tokek dan menyebutnya fasik kecil”.
c. Diriwayatkan dari Abdullah ibn Mas’ud RA, dia berkata,”Kami tengah bersama Nabi Saw disebuah goa, dan saat itu turun pada beliau ayat “Demi malaikat-malaikat yang diutus untuk membawa kebaikan”(QS.Al-Mursalaat[77]:1). Ketika kami mengambil air dari mulut goa, tiba-tiba muncul seekor ular dihadapan kami. Beliaupun bersabda, “Semoga Allah melindunginya dari kejahatan kalian sebagaimana Dia melindungi kalian dari kejahatannya”.
3. Sebab-sebab diharamkannya makanan atau minuman.
Dengan mendeduksi dan merunut alasan-alasan justifikasi yang dikemukakan ulama fuqaha dalam menghukumi haramnya suatu makanan tampak bahwa segala sesuatu, apapun jenisnya, haram dimakan karena salah satu di antara sebab-sebab di bawah ini:
a. Mengandung efek negatif (membahayakan) bagi badan atau akal.
Allah Swt berfirman, "Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”. (QS. 4:29).
b. Memabukkan, membius dan menghilangkan kesadaran. Haram hukumnya mengkonsumsi barang-barang yang memabukkan yang bisa menghilangkan .
c. Najis. Haram hukumnhya memakan semua makanan yang najis, atau yang terkena najis yang tidak bisa dimaafkan.
d. Menjijikkan menurut standar akal sehat. Misalnya kotoran sapi, air seni, dan kutu.
e. Tidak diizinkan syariat karena merupakan hak orang lain. Haram hukumnya memakan makanan yang bukan miliknya dan belum mendapat izin baik dari pemiliknya atau syara’, seperti makanan hasil curian, hasil perjudian dan lain-lain.
4. Bolehnya mengkonsumsi hal-hal yang diharamkan dalam kondisi darurat
Jumhur sepakat mengenai bolehnya memakan bangkai dan semisalnya ketika dalam kondisi darurat. Hal ini didasarkan dalil-dalil al-Qur’an sebagai berikut:
a. Allah Swt. berfirman, “Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.(QS. Al-Baqarah[2]: 173).
b. Allah Swt. berfirman, “Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS.Al-Maidah[5]:3).
c. Allah Swt. berfirman, “Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha penyayang”.(QS. Al-An’aam[6]:145).
d. Allah Swt. berfirman, “ Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, padahal Sesungguhnya Allah Telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya”. (QS.Al-An’aam[6]:119).
e. Allah Swt. berfirman, “Tetapi barangsiapa yang terpaksa memakannya dengan tidak menganiaya dan tidak pula melampaui batas, Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.(QS. An-Nahl[16]:115).
Dari dalil-dalil di atas, dapat dikemukakan beberapa hal:
1. Bahwasanya batasan darurat yang membolehkan untuk memakan bangkai dan hal-hal lain yang diharamkan adalah ketakutan atau kekhawatiran akan kematian (jika tidak memakannya).
2. Sedangkan kebolehkan mengkonsumsi bangkai dan semisalnya adalah; pertama, kebolehan mengkonsumsi dan ketiadaannya. Di mana orang yang terdesak diperbolehkan untuk mengkonsumsi hal-hal yang diharamkan. Hal ini merupakan pendapat dari sebagian ulama Maliki dan Hanafi. Kedua, kewajiban mengkonsumsinya bagi bagi orang yang diambang kematian . Hal ini menurut pendapat jumhur.
3. Syarat bolehnya memakan bangkai dan semisalnya, pertama, tidak diketemukan makanan yang halal, meski hanya sesuap, kedua, tidak sedang berada dalam kondisi yang mendekati kematian di mana konsumsi makanan sudah tidak berguna lagi baginya. Ketiga, tidak diketemukan harta benda orang Islam, atau kafir dzimmi yang berupa makanan halal.

 
BAB III
MINUMAN



1. Definisi Minuman
Kata ashribah adalah bentuk jamak dari sharb. Sharb (minuman) artinya segala sesuatu yang diminum dari jenis apapun, baik air ataupun lainnya, dan dalam situasi apapun. Segala sesuatu yang tidak perlu dimamah dalam proses konsumsinya disebut minuman.Al-Qur’an menggunakan kata-kata yang berakar dari syarban, syurban, atau syirban sebanyak 39 kali. Sedangkan kata-kata sharab atau al-sharab sebanyak 10 kali (QS.2:259, 6:70, 10:4, 16:10 dan 69, 18:29, 35:12, 38:42, dan 51, dan 78:24). Semua kata tersebut dalam berbagai konteksnya berarti minuman. Dalam kitab-kitab fiqih pembahasan tentang minuman dapat dijumpai dalam bab al-At’imah wa al-Ashribah.
Adapun hukum asal minuman adalah halal, kecuali yang telah diharamkan dengan nash (Al-Qur’an maupun sunnah), berdasarkan keumuman dalil yang telah dijelaskan - yang menetapkan hukum asal kehalalan. Juga berdasarkan hadith Anas ibn Malik RA, dia berkata: “Aku pernah menuangkan segala jenis minuman untuk Rasul Allah Saw ke dalam cangkir ini: air, nabidz (perasan anggur atau kurma), madu, dan susu”.

2. Kriteria minumam yang diharamkan
Adapun minuman yang diharamkan ada tiga macam, yakni yang najis, yang mendatangkan mudarat, dan yang memabukkan.
Pertama, najis; najis atau sesuatu yang bercampur dengan najis tidak boleh diminum, misalnya air kencing atau air yang bercampur dengan air kencing.
Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt dalam surat al-A’raaf[7]:157,“...Dan (Allah) mengharamkan bagi mereka segala yang buruk....”) Kata buruk dalam ayat tersebut di atas dapat berarti “najis atau kotoran”.
Kedua, yang mendatangkan mudarat; Diharamkannya air yang mendatangkan mudarat atau merusak kesehatan, baik secara fisik maupun akal dan jiwa (seperti air keras, racun, atau sejenisnya). Hal ini didasarkan pada firman Allah Swt dalam An-Nisa’[4]:29, "Dan janganlah kamu membunuh dirimu..”, dan Al-Baqarah[2]:195, ..dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan..”
Yang ketiga, minuman yang memabukkan; adalah khamr dan berbagai minuman yang mengandung bahan yang memabukkan, seperti alkohol. Adapun yang termasuk dalam jenis minuman yang diharamkan adalah susu binatang yang dagingnya haram dimakan, seperti susu gajah, singa dan lain-lainnya. Demikian pula semua bahan yang diisap seperti ganja, candu dan morfin. Semua itu diharamkan karena dapat merusak kesehatan tubuh dan jiwa, serta menjauhkan manusia dari berbuat baik dan benar.

3. Khamr dan berbagai Permasalahannya
3.1. Definisi Khamr
Khamr berasal dari kata khamra yang menurut arti secara bahasa adalah “menutup”. Adapun secara istilah khamr berarti sejenis minuman yang memabukkan (menutup kesehatan akal).
Atau dalam definisi yang senada dikatakan: الخمر اسم يطلق على كلّ ما يخا مر العقل
“Khamr adalah sebuah nama yang biasa dikenal dengan setiap sesuatu yang dapat menghilangkan akal seseorang”). Khamr termasuk kategori minuman yang merupakan hasil olahan manusia.
Ulama fiqih berbeda pendapat dalam menjelaskan pengertian khamr. Sebagian ulama, seperti Imam Abu Hanifah, memberikan pengertian khamr sebagai nama (sebutan) untuk jenis minuman yang dibuat dari perasan anggur sesudah dimasak sampai mendidih serta mengeluarkan buih dan kemudian menjadi bersih kembali. Sari dari buih itulah yang mengandung unsur yang memabukkan.
Akan tetapi, penulis sepakat dengan pendapat ulama mahzab Hanafi, Shafi’i dan jumhur ulama mengemukakan bahwa khamr adalah seluruh minuman yang mengandung unsur yang memabukkan, menutup akal atau menjadikan seseorang tidak dapat mengendalikan pikirannya, sekalipun bukan terbuat perasan anggur, dan hukumnya haram. Argumentasi mereka berdasar hadith sebagai berikut:
a. Hadith Rasul Allah Saw, diriwayatkan dari Anas RA.
حرمت الخمر و هي من العنب والتّمر والعسل و الحنطة والّشعير والذّرّة
“Khamr telah diharamkan, sedang khamr (waktu itu) adalah terbuat dari anggur, kurma, madu, gandum, beras dan jagung”.
b. Hadith Rasul Allah Saw.
حدّ ثنا محمّد بن المشى و محمّد بن حا تم قال حدّ ثنا يحي وهو القطّان عن عبيد الله أخبرنا نافع عن
ابن عمر قال ولا أعلمه إلاعن النّبيّ صلى الله عليه وسلّم قال كلّ مسكرخمر وكلّ خمر حرام
“Semua yang memabukkan adalah khamr, dan semua khamr adalah haram”.
c. Abu Daud, Al-Tirmidzi, dan al-Nasa’i meriwayatkan melalui sahabat Nabi,
Jabir Ibn Abd Allah bahwa Nabi Saw bersabda:
حدّ ثنا قتيبة حدّ ثنا إسمعيل يعني ابن جعفر عن داود بن بكر بن أبي الفرات عن محمّد بن المنكدر
عن جابر بن عبد الله قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلّم ما أسكر كثيره فقليله حرام
“Sesuatu yang memabukkan apabila banyak, maka sedikitpun tetap haram”.
3.2. Pengharaman Khamr
Pengharaman segala yang memabukkan dilakukan Al-Qur’an dalam empat tahap; satu di Makkah dan tiga di Madinah. Hal ini dikarenakan kondisi pada masa awal Islam khamr telah menjadi kebiasaan atau bagian dari hidup masyarakat Arab, maka pelarangannya dilakukan secara bertahap, guna tidak memberatkan bagi umat Islam saat itu.
Yang pertama turun ayat di Makkah yaitu firman Allah Swt. “Dan dari buah kurma dan anggur, yang kamu buat minuman yang memabukkan” (QS.Al-Nahl[16]: 67, disusul turun ayat di Madinah yang berisi pernyataan adanya sisi baik dan buruk pada judi dan khamr (QS.Al-Baqarah[2]: 219. Kemudian turun ayat yang berisi larangan sholat dalam keadaan mabuk (QS. Al-Nisa’[4]: 43. Dan terakhir ayat yang secara keras mengharamkan khamr dan judi. “Hai orang-orang yang beriman sesungguhnya minum khamr, berjudi....”(QS.Al-Maidah[5]:90-91).
Menurut Al-Qurthubi, keharaman khamr yang disebut dalam kedua ayat surat Al-Maidah di atas, dikuatkan dengan beberapa aspek penegasan sebagai berikut:
a. Dimulai dengan kata “innama”, kemudian Allah menyebutkannya bersamaan dengan penyembahan berhala.
b. Allah menjadikannya sebagai sesuatu yang najis, menjadikannya sebagai perbuatan syetan dan tidak ada yang datang dari syetan kecuali keburukan.
c. Allah memerintahkan untuk menjauhi, dimana tindakan ini sebagi suatu keberuntungan, sehingga melakukannya adalah suatu kerugian.
d. Allah menyebutkan bencana yang diakibatkan, yaitu terjadi permusuhan, dan saling membenci sesama peminum khamr, serta keengganan dalam beribadah (zikrullah).
3.3. Hukuman bagi peminum Khamr
Peminum khamr termasuk kelompok tindak pidana hudud (hukuman yang merupakan hak Allah Swt). Menurut jumhur ulama hukumannya adalah 80 kali dera. Hukuman ini disamakan dengan hukuman tindak pidana qadaf yang sudah merupakan ijma’ para sahabat di zaman Khalifah Umar Ibn Khatab. Akan tetapi , sebagian ulama mazhab Shafi’i berpendapat bahwa hukuman bagi peminum khamr adalah 40 kali dera. Hal ini didasarkan pada hadith Nabi Saw: “Kepada Nabi didatangkan seseorang yang telah meminum khamr, lalu Rasul Allah Saw menderanya dengan dua pelepah kurma sebanyak 40 kali dera”(HR.Ahmad, Muslim, Abu Daud, dan Tirmidzi dari Anas ibn Malik).
Hukuman ini juga berlaku bagi jenis minuman lain (selain khamr) yang bersifat memabukkan. Ketetapan ini didasarkan pada analogi (kias) atas kesamaan illat yaitu, memabukkan.
3.4. Meminum Khamr bagi orang yang terpaksa
Keharaman khamr seperti yang diterangkan di atas adalah ketika dalam kondisi-kondisi normal. Adapun ketika terpaksa, maka syariat memberi keringanan untuk meminumnya dengan standar syariat dalam memperbolehkan sesuatu yang diharamkan, seperti haus yang dikhawatirkan akan mati. Maka orang yang terpaksa tersebut diperbolehkan mengkonsumsi minuman yang haram dengan kadar yang sekiranya sudah bisa menghilangkan bahaya tersebut. Dan ini adalah pendapat jumhur ulama, dengan berlandaskan pada ayat-ayat Al-qur’an yang membolehkannya dalam keadaan terpaksa.
a. QS. Al-Baqarah[2]:173:…tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya….
b. QS. Al-An’am[6]:119:….kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya….
c. QS.Al-An’am[6]:145:….barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha penyayang.".
Sementara menurut ulama mazhab Maliki, tetap melarang meminum khamr dalam keadaan terpaksa guna mencegah kehausan. Mereka berargumentasi bahwa khamr tidak bisa menghilangkan dahaga, akan tetapi bahkan menambah panas (dahaga), karena unsur panas yang ada di dalamnya.
Dalam permasalahan di atas penulis sepakat dengan pendapat jumhur, bahwa bolehnya meminum khamr dalam keadaan terpaksa, darurat, sepanjang tidak melampau batas, sekiranya tidak meminumnya akan mendatangkan bahaya keselamatan jiwa (kematian).
3.5. Menggunakan khamr sebagai obat
Jumhur ulama menetapkan haramnya berobat dengan khamr . Bahkan orang yang meminumnya untuk obat tetap harus diberi hukuman. Larangan ini didukung dengan argumentasi dalil-dalil sebagai berikut:
a. Hadith Thariq Ibn Suwaid al-Ju’fi, bahwa ia bertanya kepada Rasul Allah tentang khamr? Lalu Rasul Allah melarang atau membenci untuk membuatnya, lalu dia berkata lagi,”Sesungguhnya aku membuatnya untuk obat”. Kemudian Rasul Allah bersabda.” Sesungguhnya ia bukan obat, melainkan penyakit”.
b. Hadith yang diriwayatkan oleh Abu Darda’, Rasul Allah bersabda.”sesungguhnya Allah menurunkan penyakit beserta penawarnya. Dia jadikan obat bagi tiap-tiap penyakit, maka berobatlah dan janganlah berobat dengan yang haram.”
Dalam hal ini penulis sepakat dengan pendapat jumhur di atas, dengan tambahan, bahwa sekiranya dalam bentuk alkohol boleh, jika memang telah berusaha dengan obat halal lainnya, tetapi tidak sembuh. Namun tetap berprinsip dan berupaya untuk selalu berobat dengan obat-obat halal di kemudian hari.
3.6. Hukum nabiz, cuka dan minuman beralkohol
1. Nabiz.
Nabiz adalah kurma atau, anggur, atau semisalnya yang dimasukkan ke dalam air (diperas) sehingga menjadi manis dan diperoleh rasa yang diinginkan, kemudian diminum. Minuman seperti ini diperbolehkan jika jarak waktu membuatnya dengan meminumnya tidak terlalu lama. Tetapi jika disimpan dalam waktu lama dan rasanya berubah, maka meminumnya bisa memabukkan.
Jumhur ulama sepakat bahwa hukum meminum nabiz adalah boleh /halal, sepanjang tidak memabukkan. Jika sampai bisa memabukkan maka menurut ulama Maliki, Shafi’i, dan Hanbali dikategorikan sebagai khamr, hal ini juga menjadi pegangan bagi penulis. Dengan argumentasi bahwa semua minuman yang bisa memabukkan dari bahan apa saja, tanpa memperhatikan kadar yang diminumnya, termasuk khamr. Demikian juga menurut Abu Hanifah, termasuk ulama-ulama kuffah, menyatakan bahwa yang diharamkan dari minuman ini (nabiz) hanyalah jika meminumnya sampai kadar memabukkan, jika tidak sampai mabuk, maka hukum meminumnya tetap halal.
2. Cuka.
Ulama sepakat tentang bolehnya meminum cuka (khall) yang berasal dari khamr, apabila khamr itu menjadi cuka dengan sendirinya. Akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang khamr yang sengaja diubah menjadi cuka.
Menurut Ulama mahzab Shafi’i, Hanbali, dan sebagian mazhab Maliki berpendapat bahwa khamr tidak bisa diubah menjadi cuka, dan cuka yang dihasilkan pun tidak halal. Mereka berargumentasi pada dalil-dalil berikut ini:
a. Usaha untuk merubah khamr menjadi berarti khamr.
Hal ini bertentangan firman AllahSwt.: “Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan” (QS.Al- Maidah[5]:90).
b. Hadith Anas yang menjelaskan bahwa Nabi Saw. pernah ditanya tentang khamr yang dibuat cuka, beliau menjawab. “Tidak bisa!” .
c. Dalam versi lain, Abu Talhah menyebut tentang anak yatim yang mendapat warisan khamr? Dia menjawab.”Buanglah!” Abu Talhah bertanya lagi, “Apakah kita tidak bisa menjadikannya cuka?” Nabi menjawab, “Tumpahkanlah khamr tersebut.” Ia tanya lagi, “Bolehkakah kami menjadikannya cuka.” Beliau jawab, “Tidak.”
Sementara menurut Abu Hanifah dan sebagian besar mazhab Maliki, berpendapat bahwa menjadikan khamr sebagai cuka hukumnya boleh dan halal. Mereka berargumentasi:
a. Pembuatan cuka seperti itu adalah tindakan ishlah (perbaikan) yang dibolehkan. Hal ini dianalogikan dengan menyamak kulit berarti menyucikannya.
b. Membuat cuka bisa menghilangkan sifat yang merusak, dan menjadikan khamr layak dikonsumsi. Dalam hal ini ishlah diperbolehkan, karena serupa dengan menumpahkan khamr.
c. Hadith yang diriwayatkan secara marfu’ – “Sebaik-baik cuka kalian adalah cuka khamr kalian”. Akan tetapi hadith ini da’if.
Dengan argumentasi yang dikemukakan jumhur, tentang tidak bolehnya mengubah khamr menjadi cuka, maka menurut hemat penulis, tidak perlu disanggah karena dalil-dali yang dikemukakan lebih rajih atau kuat.
3. Minuman beralkohol
Alkohol atau dalam bahasa Arab, Al-kuhul berarti sesuatu yang mudah menguap, sari pati, atau inti sari.Alkohol diartikan sebagai cairan tidak berwarna yang mudah menguap dan mudah terbakar. Umumnya dipakai di dunia industri dan pengobatan, serta merupakan unsur ramuan yang memabukkan dalam kebanyakan minuman keras.
Alkohol yang biasa digunakan dalam minuman keras adalah etanol (C2H5OH). Berdasarkan "Muzakarah Alkohol Dalam Minuman" di MUI pada tahun 1993, telah didefinisikan bahwa minuman beralkohol (alcoholic beverage) adalah minuman yang mengandung alkohol (etanol) yang dibuat secara fermentasi dari jenis bahan baku nabati yang mengandung karbohidrat, seperti biji-bijian, buah-buahan, dan nira, atau yang dibuat dengan cara distilasi hasil fermentasi yang termasuk di dalamnya adalah minuman keras klasifikasi A, B, dan C (Per. Menkes No. 86/ 1977). Anggur obat, anggur kolesom, arak obat dan minuman-minuman sejenis yang mengandung alkohol dikategorikan sebagai minuman beralkohol.
Kemudian seperti telah disinggung sebelumnya bahwa khamr adalah najis. Sebagai implikasinya, alkohol (etanol) sebagai zat yang memabukkan dalam khamr, hukumnya najis juga. Hal ini sesuai kaidah fiqih : At-Tabi’ Tabi’ (Hukum bagi yang mengikuti, adalah mengikuti (sama dengan) hukum yang diikuti). Dengan menerapkan kaidah itu, kita tahu bahwa khamr hukumnya najis. Maka, etanol sebagai bagian dari khamr, hukumnya mengikuti khamr dari segi kenajisannya. Jadi, etanol hukumnya mengikuti hukum khamr.
Jika sudah jelas alkohol itu najis, maka bagaimana hukum menggunakannya? Jawabannya, pemanfaatan benda najis pada asalnya adalah haram. Adapun bila digunakan untuk kepentingan pengobatan atau produksi obat, seperti digunakan sebagai desinfektan alat dan tangan sebelum operasi, pembersih kulit sebelum injeksi, atau sebagai campuran obat, hukumnya makruh, tidak haram. Adapun menjualbelikan alkohol pada asalnya adalah haram, kecuali untuk kepentingan pengobatan, hukumnya boleh.
4. Hukum Mukhaddirat (narkotik), ekstasi, pil koplo dan sejenisnya
Al-Qur'anul Karim dan Hadits Rasul Allah Saw. menyebutkan pengharaman khamr, tetapi tidak menyebutkan keharaman bermacam-macam benda padat yang memabukkan, seperti mukhaddirat (narkotik), ekstasi, pil koplo, ganja, heroin, dan sejenisnya. Maka bagaimanakah hukum syara' terhadap penggunaan benda-benda tersebut, sementara sebagian kaum muslim tetap mempergunakannya dengan alasan bahwa agama tidak mengharamkannya?
Jawabannya sebagai berikut:
Bahwa mukhaddirat (narkotik), ekstasi, pil koplo, ganja, heroin, dan sejenisnya , baik padat maupun cair adalah termasuk benda-benda yang diharamkan syara' tanpa diperselisihkan lagi di antara ulama.
Dalil yang menunjukkan keharamannya adalah sebagai berikut:
1. Ia termasuk kategori khamr menurut batasan yang dikemukakan Amirul Mukminin Umar bin Khattab r.a.: "Khamr ialah segala sesuatu yang menutup akal."
Yakni yang mengacaukan, menutup, dan mengeluarkan akal dari tabiatnya yang dapat membedakan antar sesuatu dan mampu menetapkan sesuatu. Benda-benda ini akan mempengaruhi akal dalam menghukumi atau menetapkan sesuatu, sehingga terjadi kekacauan dan ketidaktentuan, yang jauh dipandang dekat dan yang dekat dipandang jauh. Karena itu sering kali terjadi kecelakaan lalu lintas sebagai akibat dari pengaruh benda-benda memabukkan itu.
2. Barang-barang tersebut, seandainya tidak termasuk dalam kategori khamr atau "memabukkan," maka ia tetap haram dari segi "melemahkan" (menjadikan loyo).
Imam Abu Daud meriwayatkan dari Ummu Salamah.
"Bahwa Nabi saw. melarang segala sesuatu yang memabukkan dan melemahkan (menjadikan lemah)."
3. Bahwa benda-benda tersebut seandainya tidak termasuk dalam kategori memabukkan dan melemahkan, maka ia termasuk dalam jenis khabaits (sesuatu yang buruk) dan membahayakan, sedangkan diantara ketetapan syara': bahwa lslam mengharamkan memakan sesuatu yang buruk dan membahayakan, sebagaimana flrman Allah dalam menyifati Rasul-Nya a.s. di dalam kitab-kitab Ahli Kitab: "... dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk ..."(al-A'raf: 157).
Dan Rasulullah saw. bersabda: "Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh memberi bahaya (mudarat) kepada orang lain."
Segala sesuatu yang membahayakan manusia adalah haram: "Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu." (an-Nisa': 29).
"... dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri kedalam kebinasaan ..." (al-Baqarah: 195)
4. Dalil lainnya mengenai persoalan itu ialah bahwa seluruh pemerintahan (negara) memerangi narkotik dan menjatuhkan hukuman yang sangat berat kepada yang mengusahakan dan mengedarkannya. Sehingga pemerintahan suatu negara yang memperbolehkan khamr dan minuman keras lainnya sekalipun, tetap memberikan hukuman berat kepada siapa saja yang terlibat narkotik. Bahkan sebagian negara menjatuhkan hukuman mati kepada pedagang dan pengedarnya. Hukuman ini memang tepat dan benar, karena pada hakikatnya para pengedar itu membunuh bangsa-bangsa demi mengeruk kekayaan. Oleh karena itu, mereka lebih layak mendapatkan hukuman qishash dibandingkan orang yang membunuh seorang atau dua orang manusia.
5. Hikmah Pengharaman Khamr
Adapun diantara sebab dan hikmah diharamkannya khamr adalah:
a. Di dalam khamr ada unsur-unsur yang membahayakan kesehatan manusia, Dimana bagi pengkonsumsinya bisa mengalami penyakit gangguan jantung, liver,akal pikiran, lemahnya kekebalan tubuh.
b. Menghalang-halangi orang mengingat Allah Swt., dan melaksanakan kewajiban-kewajiban ibadah kepada Allah, seperti, sholat, dan ibadah lainnya.
c. Khamr adalah bahaya yang nengancam kehidupan manusia, baik dalam segi ketertiban, ketentraman, dan ekonomi masyarakat. Khamr memicu permusuhan dan kebencian di tengah umat.
d. Untuk menjaga kebutuhan primer yang bersifat daruri yaitu, agama, akal, harta, kehormatan dan keluarga. Karena jika seseorang telah kecanduan minum khamr, maka kelima hal di atas bisa berantakan.
e. Khamr adalah keburukan, kotoran, najis, yang merupakan perbuatan syetan. Ini dilandaskan pada hadith-hadith Nabi Saw. berikut:
... اجتنوا الخمر فإنّها أمّ الخبا ىث....
Jauhilah Khamr! Karena sesungguhnya Khamr adalah induk segala kekotoran”.
...ولا تشر بى خمرا فإ نّه رأس كلّ فا حشة....
“Jangan kamu minum khamr, karena sesungguhnya khamr merupakan pangkal semua keburukan”.
..لا تشرب الخمر فإ نّها مفتا ح كلّ شرّ....
“Jangan kamu minum khamr, karena khamr itu kunci tipa-tiap kejahatan”.

BAB IV
PENUTUP



Sebagai akhir dari penulisan makalah ini, penulis memberi kesimpulan hal-hal sebagai berikut:
1. Islam adalah agama rahmatan lil’alamin, agama universal, sehingga segala permasalahan yang mengatur hajat hidup manusia, termasuk di dalamnya hal makanan dan minuman sudah tercover secara jelas dan lengkap, baik lewat nash Al-Qur’an maupun hadith Rasul Allah Saw.
2. Hukum semua makanan dan minuman pada dasarnya adalah halal, sampai ada dalil yang menunjukkan keharamannya.
3. Makanan yang diharamkan dalam nash (QS.2:173, dan QS.5:3), meliputi; Bangkai, darah, babi, hewan yang disembelih tanpa menyebut asma Allah, hewan yang disembelih untuk selain Allah (berhala). Sementara makanan yang diharamkan dalam hadith Nabi Saw. meliputi; Daging keledai jinak, binatang buas bertaring, burung yang bercakar tajam, jallalah, dan hewan yang diperintahkan untuk membunuhnya.
4. Kriteria minuman yang diharamkan meliputi; najis, yang mendatangkan mudarat, dan yang memabukkan (seperti khamr).
5. Di balik pengharaman makanan dan minuman terhadap sesuatu, di sana pasti mengandung sebab-sebab atau hikmah-hikmah yang mendasarinya.
6. Dalam situasi memaksa, atau darurat, maka Islam memberi ijin untuk mengkonsumsi makanan dan minuman yang diharamkan, dengan maksud sebagai rukhsah dan menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang sangat rahmatan lil ‘alamin.
Wallahu a’la wa a’lam !

DAFTAR PUSTAKA

Ali al-Sabuni, Muhammad. Tafsir Ayat Ahkam al-Sabuni, terj. Mu’ammal Hamidy .Surabaya: Bina Ilmu, 2003.
Al-Mahalli, Jalal al-Din. Al-Suyuthi, Jalal al-Din. T afsir Jalalain, Juz 2. Terj. Bahrun Bakar .Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1996
Al-Maraghi, Ahmad Mustafa. Tafsir Al-Maraghi Juz II, terj. K.Anshori Umar.Semarang: Toha Putra, 1993.
Al-Sayyid Yusuf, Muhammad. Manhaj al-Qur’an al-Karim fi Islah al-Mujtama’, Qasas al-‘Ilm al-Qur’an, terj. Abu Bakr Ahmad, Edisi Indonesia “Pustaka pengetahuan Al-Qur’an “. Jakarta: Rehal Publika,2004.
al-Qurtubi, Abu Abdillah Muhammad. Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an Juz VI, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah,1993.
Ash Shiddieqy, Hasbi. Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur, Jilid 2 . Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000.
Dahlan, Abdul Aziz. Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ictiar Baru van Hoeve, 2001.
Hakim,Abdul Hamid Al-Sulam. Jakarta: Sa’adiyah Putra, tt.
Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim, Juz 6, terj. Bahrun Abu Bakar. Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2003.
Kamal, Abu Malik. Sahih Fiqih Sunnah, terj. B. Hidayat. Jakarta: Pustaka Azam, 2006.
LPPOM-MUI Kaltim, Status kehalalan alkohol, tanggal 20-11-2000, dalam; www.indohalal.co
Shihab, Quraish. Wawasan Al-Qur’an; Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan, 1998.
Qal’ahji, Muhammad Rawwas. Ensiklopedi Fiqh Umar Ibn Khathab, terj. M. Abdul Mujieb.Jakarta:Raja Grafindo Persada, 1999.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar