Rabu, 31 Maret 2010

Sebuah Refleksi Ujian Nasional 2010:

Serbuk Berkhasiat

pada “Pil Pahit” Ujian Nasional

Oleh : Nur Miftahul Fuad, S.Pd., M.Pd


“Ungkapan ’jujur ajur’ kadang dijadikan argumen unik dari sekolah yang justru takut menyelenggarakan UN dengan jujur”

Suatu hari, muncul celah kecil pada sebuah kepompong, seorang pria duduk dan memperhatikan calon kupu-kupu yang berjuang keras selama berjam-jam untuk mendorong tubuhnya keluar melalui lobang kecil kepompong tersebut. Namun, tampaknya usaha tersebut sia-sia, berhenti dan tidak ada perkembangan yang berarti. Seolah-olah terlihat usaha tersebut sudah mencapai satu titik di mana tidak bisa berkelanjutan. Maka, pria itu memutuskan untuk membantu kupu-kupu itu. Dia mengambil sebuah gunting dan membuka kepompong itu. Kemudian kupu-kupu itu keluar dengan sangat mudahnya

Tapi apa yang terjadi ? Kupu-kupu itu memiliki tubuh yang tidak sempurna. Tubuhnya kecil dan sayapnya tidak berkembang. Pria itu tetap memperhatikan dan berharap, tidak lama lagi, sayap tersebut akan terbuka, membesar dan berkembang menjadi kuat untuk dapat mendukung badan kupu-kupu itu sendiri.

Semua yang diharapkan pria itu tidak terjadi! Kenyataanya, kupu kupu tersebut malah menghabiskan seluruh hidupnya merayap dengan tubuhnya yang lemah dan sayap yang terlipat. Kupu-kupu tersebut tidak pernah bisa terbang. Apa yang pria itu lakukan, dengan segala kebaikan dan niat baiknya, dia tidak pernah mengerti, bahwa perjuangan untuk mengeluarkan badan kupu-kupu dari kepompong dengan cara mengeluarkan seluruh cairan dari badannya adalah suatu proses yang dibutuhkan, sehingga sayapnya dapat berkembang dan siap untuk terbang, sesuai dengan yang sudah ditentukan oleh TUHAN.

Memang seringkali, perjuangan adalah sesuatu yang kita butuhkan dalam hidup ini. Bila kita melewati hidup ini tanpa cobaan, hal ini akan membuat kita lemah. Kita tidak akan sekuat seperti apa yang kita harapkan, dan tidak akan pernah terbang seperti kupu-kupu itu.

Ilustrasi di atas, tidak jauh beda bila kita kaitkan dengan pelaksanan Ujian Nasional (UN) yang baru saja di gelar untuk MA dan MTs serta UASBN untuk MI beberapa saat lagi. Adakah persamaannya ? Marilah bersama-sama kita telaah.

Beberapa waktu lalu, Depdiknas mengeluarkan tingkat kejujuran UN di beberapa daerah. Saya sempat kaget melihat tingkat kejujuran Ujian Nasional (UN) di berbagai daerah. Sorotan tajam dari berbagai media massa seakan menampar dan mencoreng wajah pendidikan kita. Bagaimana tidak, hampir separuh, atau bahkan lebih dari sekolah yang ada sudah melakukan praktek ketidakjujuran tersebut. Merebaknya praktek tersebut dilatarbelakangi karena tidak ada ujian nasional ulangan, tekanan dari berbagai pihak, kurang berperan aktifnya pihak pemantau UN. Selain itu, adanya brand SSN (Sekolah Standar Nasional) dan SBI (Sekolah Bertaraf Internasional) bila sekolah bisa mencapai rerata tertentu,  “prestise” tinggi dan lebih memiliki “image” serta mendapatkan tempat di masyarakat juga menjadi alasan yang tidak kalah pentingnya. Tentunya, masih sederet alasan fundamental lainnya sebagai bentuk kepentingan yang tidak proporsional. Itulah sebuah contoh “polesan” dari “tim sukses” yang ujung dari semua itu semata-mata hanya ingin mengejar tingkat kelulusan yang tinggi. Namun, tidakkah kita menyadari bahwa dengan cara tersebut, upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan tak akan tercapai atau dengan kata lain kaidah pendidikan yang selama ini dipancangkan pada setiap diri siswa malah tergadaikan.

Tentu tidak semua sekolah mau melakukan kecurangan itu, masih banyak juga sekolah yang dengan berani mengawal pelaksanaan UN secara murni, jujur, dan transparan meskipun kadang “pil pahit” harus ditelan seiring dengan rendahnya tingkat kelulusan. Namun, sesungguhnya dalam “pil pahit” tersebut terkandung serbuk “berkhasiat” yang membanggakan, membuat siswa mandiri, mendidik, melatih, mengarahkan siswa untuk mampu berkompetisi dan bersikap sportif dalam meraih prestasi serta secercah asa untuk meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan secara bertanggung jawab. Bukan sekedar kebanggaan semu manakala UN dilaksanakan dengan tidak jujur.

Ungkapan “jujur ajur” kadang dijadikan argumen unik dari sekolah yang justru takut menyelenggarakan UN dengan jujur. Memang ada benarnya ungkapan tersebut bila dimaknai secara dangkal. Tapi, bila kita coba gali lebih dalam, dengan ketidakjujuran justru akan menjerumuskan siswa ke dalam lembah yang dalam kelak dan menjadikan pendidikan makin terpuruk. Lhoh kok bisa ?

Ada beberapa argumen untuk menjawab pertanyaan tersebut. Pertama, selama tiga tahun, para guru terutama guru agama dan budi pekerti telah menanamkan kejujuran pada tiap diri siswa. Kejujuran dalam mengerjakan soal-soal ulangan harian dan semester dan kejujuran dalam berperilaku. Namun, hal itu justru dirusak dipenghujung jenjang pendidikan mereka.

Kedua, memang dengan nilai UN yang tinggi, dengan mudah ia bisa masuk ke jenjang di atasnya dengan mudah. Dengan tiket nilai UN yang bagus, ia tinggal pilih disekolah mana kakinya berpijak. Akan berbeda dengan yang punya nilai pas-pasan. Tentu akan “ketar-ketir” bila melamar ke sekolah yang bonafit. Sekilas, yang mengantongi nilai tinggi akan bangga dengan sekolah barunya, apalagi sekolah barunya sudah berlabel “SSN” dan “SBI”. Namun, setelah masuk dan bercampur dengan siswa lain, tentu ia akan “gelagapan” dan sulit mengembangkan diri. Tentu ini akan menjadi catatan tersendiri bagi guru yang mengajar siswa yang memiliki input tinggi namun miskin kualitas. Dari pengalaman, dijumpai beberapa siswa mengundurkan diri dari sekolah tersebut karena merasa tertekan alias “depresi” sebab tidak mampu mengimbangi kemampuan teman-temannya yang mengantongi nilai UN dengan cara yang murni.

Ketiga, dari berbagai wacana yang berkembang, di PTN, ternyata kelas PMDK masih kalah bagus bila dibandingkan kelas dari hasil seleksi masuk perguruan tinggi (UMPTN/SPMB maupun sejenisnya). Hal ini bisa dimungkinkan karena adanya budaya poles pada nilai raport siswa. Hal semacam inilah yang sebenarnya tidak diharapkan. Tentunya akan sama jadinya bila UN dipoles sedemikian rupa.

Keempat, sukses semu akan diraih siswa manakala ia mendapatkan jawaban tanpa mau belajar, berpikir dan berjuang keras. Layaknya pelajaran yang bisa kita ambil dari calon kupu-kupu yang berjuang dengan segala cara agar bisa keluar dari kepompong. Ia akan bisa terbang sempurna manakala dengan segala daya tenaganya merobek pembungkus kepompong. Namun, ia akan cacat dan tidak mampu terbang manakala kita membantu agar calon kupu-kupu bisa keluar dengan mudah dari kepompong.

Dengan argumen di atas, kita berharap dalam UN perilaku kecurangan, penyimpangan dan upaya-upaya “tim sukses” yang bekerja untuk membantu kelulusan siswa dapat dicegah. Jika hal ini masih saja terjadi, maka kepada pihak terkait tidak boleh segan-segan untuk memberi sanksi pelakunya dan harus diusut tuntas. Sehingga, kemurnian hasil UN terjaga dan mutu pendidikan bisa dibanggakan. Apa pun hasil UN yang diperoleh siswa, sebaiknya jangan sampai mengorbankan masa depan siswa.

Hasil UN harus dijadikan sebagai bahan renungan dan pemetaan mutu kualitas pendidikan Nasional untuk memperbaiki proses pembelajaran di sekolah dan pengambilan kebijakan serta strategi pembangunan pendidikan ke depan yang lebih bermutu dan berdaya saing. Bila kejujuran UN belum bisa diterapkan oleh semua lembaga pendidikan, maka selayaknya hasil UN belumlah dapat dijadikan sebagai tolok ukur pemetaan dalam salah satu syarat label Sekolah Standar Nasional dan Sekolah Bertaraf Internasional.

Lalu bagaimana dengan UN tahun 2010 ini ? Yang bisa menjawabnya tentunya kita sebagai guru. Bila sekolah tidak ada “tim sukses” dan siswa bekerja sendiri, patut kita acungi jempol. Bila masih ada, tentu bagaimana kita menyadari semua ini agar ke depan mutu pendidikan bisa benar-benar dipertanggungjawabkan.

Mari kita tingkatkan mutu pendidikan dengan cara yang elegan, benar, dan dibenarkan. Kerja keras dan komitmen tinggi dari seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) mutlak diperlukan. Agar kita bisa menghantarkan generasi penerus sejajar dengan bangsa-bangsa maju di dunia. Akan indah rasanya bila kita, utamanya para guru dikenang oleh mereka sebagai pahlawan cendekia. Dan saya menaruh optimisme, guru seantero nusantara mampu mengemban amanah mulia ini. Kita pasti bisa. Bravo Guru Indonesia!

1 komentar:

  1. Online Casino in Tanzania - KDGintar
    Online 인카지노 Casino in kadangpintar Tanzania | Latest casino games & promotions | Free online slot machines | Top 카지노사이트 slots | Best new casinos | Live casino games and

    BalasHapus