Senin, 01 Maret 2010

KAJIAN ’ULUMUL QUR’AN, METODE JIBRIL

Pada dasarnya, terminology (istilah) Metode Jibril dilatarbelakangi perintah Allah kepada Nabi Muhammad SAW untuk mengikuti bacaan al-Qur’an yang telah dibacakan oleh Malaikat Jibril, sebagai penyampaian wahyu. Allah SWT berfirman :

فإذا قرأناه فاتبع قرأنه


Artinya : “apabila telah selesai Kami baca (yakni Jibril membacanya), maka ikutilah bacaannya itu”. (Al Qiyamah : 18)
Berdasarkan ayat ini, maka intisari tehnik dari Metode Jibril adalah talqin-taqlid (menirukan), yaitu siswa menirukan bacaan gurunya. Dengan demikian, Metode Jibril bersifat teacher centris, dimana posisi guru sebagai sumber belajar atau pusat informasi dalam proses pembelajaran. Proses pembelajaran Metode Jibril tersebut, selalu menitik beratkan pada penerapan teori-teori ilmu tajwid secara baik dan benar. Karena itu metode Jibril juga diilhami oleh kewajiban membaca al-Qur’an  secara tartil. Allah SWT berfirman :

أوزد عليه ورتل القرأن ترتيلا

Artinya : “…..Dan bacalah (olehmu) al-Quran dengan tartil”. (al-Muzammil : 4)
Tehnik dasar Metode Jibril bermula dengan membaca satu ayat atau waqaf, lalu ditirukan oleh seluruh siswa. Guru membaca satu-dua lagi, yang masing-masing ditirukan oleh semua siswa. Kemudian guru membaca ayat atau lanjutan ayat berikutnya, dan ditirukan kembali oleh siswa-siswa tersebut. Begitulah seterusnya, sehingga mereka dapat menirukan bacaan guru sama persis. Dalam hal ini guru dituntut profesional dan memiliki kreadibilitas yang mumpuni dibidang pembelajaran membaca al-Qur’an (Murattil) dan bertajwid yang baik dan benar.
Metode Jibril diadopsi dari Imam al-Jazary. Dikisahkan, bahwa ketika Imam al-Jazary berkunjung ke Mesir, beliau diminta untuk mengajar al-Qur’an kepada masyarakat. Karena banyaknya orang yang mengaji, beliau tidak mengajar mereka satu persatu, melainkan dengan cara menyeluruh seseorang membaca satu ayat, lalu ditirukan oleh semua orang. Selanjutnya giliran orang disamping orang pertama disuruh membaca ayat berikutnya, yang ditirukan lainnya. Begitu seterusnya sehingga semua orang kebagian giliran membaca. Dengan demikian, secara langsung terjadi proses tashih dan waktu pembelajaran berlangsung efisien.
Cara tersebut dikombinasi dengan cara mengajar Imam Abdur Rahman as-Sulami, seorang ahli qiraah pada era awal kebangkitan Islam. Dikisahkan bahwa Imam as-Sulami mengajar di masjid Jami al-Umawi Damaskus dengan membagi para santri dalam kelompok-kelompok. As-Sulami mengajar 10 orang, lalu masing-masing mengajar 10 orang di bawahnya dan begitu seterusnya, sehingga semuanya berjumlah 1000 orang.
Kombinasi metode al-Jazary dan metode as-Sulami di atas, diterapkan dalam Metode Jibril, yang disebut Tashih. Tehnik ini bermanfaat dalam pengkaderan guru yang profesional. Teknik Tashih atas bacaan al-Qur’an oleh seorang siswa kepada guru yang mujawwid seperti halnya di atas, juga dilakukan Nabi Muhammad SAW. Sejarah menyebutkan, bahwa Rasulullah SAW selalu menampilkan bacaan al-Qur’an untuk ditashih di hadapan Malaikat Jibril sekali dalam setiap tahun, tepatnya pada bulan Ramadhan, bahkan pada tahun dimana Nabi SAW wafat, Rasulullah SAW menampilkan bacaannya sebanyak 2 kali di hadapan Malaikat Jibril.
Dengan demikian, Nabi Muhammad SAW mengajarkan kepada para sahabat seperti halnya beliau terima dari Malaikat Jibril. Yakni, Nabi SAW mentalqinkan atau membacakan al-Qur’an untuk kemudian diikuti para sahabat dengan bacaan yang sama persis. Oleh karenanya metode pengajaran Nabi Muhammad SAW adalah metodenya Malaikat Jibril sebagaimana perintah Allah SWT.
Dengan metode dan cara baca yang demikian itu, Nabi Muhammad SAW menganjurkan kepada para sahabatnya agar belajar dan mengajarkan al-Qur’an dengan cara yang sama. Dalam hadist yang diriwayatkan Ibnu Khuzaimah, dalam shahihnya, dari Zaid bin Tsabut, Nabi Muhammad SAW bersabda : “Sesungguhnya Allah senang apabila al-Qur’an dibaca secara persis (tartil bertajwid) seperti saat al-Quran diturunkan”. (al-Qari’:30).
Uraian di atas menunjukkan bahwa al-Qur’an memiliki karakteristik dan tata cara membaca tersendiri sesuai dengan apa yang diajarkan Nabi Muhammad SAW kepada para sahabatnya. Itu artinya, siapapun yang menentang atau tidak menghiraukan tata cara membaca al-Qur’an, maka berarti ia menentang atau acuh tak acuh terhadap perintah Allah dan Rasulnya. Dengan kata lain, berarti ia membaca al-Qur’an secara berbeda dengan al-Qur’an yang diturunkan.


Mohammad  Ghufron  al-Faqir - Penyuluh Agama  Islam di lingkungan Kementrian Agama Kab. Kediri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar